Minggu, 23 Juni 2013

Kesultanan Kasepuhan Cirebon Eksistensinya Belum Terdokumentasikan




KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON
Fungsi dan Peranannya Pada Setiap Zaman
Belum Terdokumentasikan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013




            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada  setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial  ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013

Sabtu, 22 Juni 2013

A. Sobana Hs Refresing in Australia


A. Sobana Hardjasaputra bersama Sultan Sepuh XIV Cirebon







Bersama Sultan Sepuh XIV Cirebon





Reboisasi dengan kopi, mengapa tidak?




REBOISASI DENGAN KOPI MENGAPA TIDAK?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra


Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagian besar hutan di Jawa Barat, termasuk di daerah Kabupaten Bandung, sekarang ini dalam keadaan rusak akibat ulah sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Kerusakan hutan menyebabkan tanah longsor dan banjir besar di musim hujan. Selain mengakibatkan tanaman pertanian rusak, tanah longsor dan banjir itu kadang-kadang merenggut jiwa manusia.
Dalam menanggulangi kerusakan hutan, Pemkab Bandung membuat program reboisasi, dan program itu telah dilaksanakan dengan menanam tanaman buahbuahan (advokat, durian, kesemek, dan lain-lain). Akan tetapi, pelaksanaan program reboisasi itu tidak ditunjang oleh biaya pemeliharaan, dan diikuti oleh pengelolaan yang berkelanjutan. Akibatnya, program itu menjadi tidak efektip. Bibit tanaman menjadi rusak, karena tidak diurus, bahkan terjadi pencabutan bibit tanaman oleh oknum perambah hutan. Hal itu dinyatakan oleh Yeyet Sukayat, Wakil Ketua Gerakan Pramuka Tingkat Kabupaten Bandung Bidang Penghijauan beberapa waktu yang lalu. Hal senada juga dikatakan oleh Didin Rosidin, Sekretaris Eksekutif Forum Peduli Citarum (FPC). Bibit tanaman buah-buahan sebanyak 30.000 pohon yang ditanam oleh Gerakan Pramuka di 43 kecamatan di Kabupaten Bandung, 70 persen di antaranya rusak (PR, 19 Maret 2004)

Mengapa kopi?
Dalam upaya mengganti tanaman reboisasi yang rusak itu, ada baiknya apabila Pemkab Bandung mempertimbangkan tanaman kopi sebagai tanaman reboisasi utama. Mengapa kopi? Sejarah Priangan menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-18, daerah Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan. Setelah daerah Priangan dikuasai oleh Kompeni (sejak tahun 1677), Kompeni memberlakukan penanaman wajib di Priangan, terutama kopi, dalam sistem yang disebut Preangerstelsel (Sistem Priangan). Penanaman wajib kopi di Priangan mulai dirintis tahun 1707. Tahun 1789 perkebunan kopi di daerah perbukitan Bandung berhasil dengan baik. Menurut ilmu pertanian, memang daerah perbukitan Bandung, baik kesuburan tanah maupun ketinggiannya dari permukaan laut (dpl), sangat cocok untuk menanam kopi.
Penanaman kopi di Priangan dengan Bandung sebagai pusatnya, dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada dekade pertama abd ke-19, pohon kopi tua di daerah Bandung hampir mencapai jumlah 3 juta pohon. Penanaman dan pemeliharaan pohon kopi itu dikoordinir oleh pejabat pemerintah kabupaten di bawah pimpinan bupati. Dengan demikian, pohon kopi terpelihara dan hutan pun lestari, karena di antara petak-petak kebun kopi ditanam pohon-pohon besar sebagai pohon pelindung. Kelestarian hutan waktu itu juga berkaitan erat dengan hak istimewa bupati untuk berburu di hutan, sehingga rakyat tidak berani mengganggu hutan.
Meskipun perkebunan kopi itu milik pemerintah, tetapi karena yang menanam dan memeliharanya adalah petani, maka hasil panen kopi itu dibeli oleh pemerintah. Pada awal abad ke-19, satu pikul (225 pon atau 112,50 kilogram) kopi dibeli oleh pemerintah dengan harga 10 gulden. Dari penjualan setiap pikul kopi, bupati memperoleh persentase sebesar 1 ringgit (2,50 gulden). Pada waktu yang sama, harga padi di Priangan rata-rata 5 gulden per caéng ringan (620 kilogram). Berarti, dari penjualan satu pikul kopi, petani dapat membeli padi sebanyak 1.240 kilogram padi. Pada waktu itu, produksi kopi dari Bandung khususnya dan Priangan umumnya diekspor ke Amerika. Hal itu berarti, penanaman wajib kopi bukan hanya menguntungkan pemerintah, tetapi jerih payah petani kopi pun mendapat imbalan
yang memadai.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV (1846 – 1874), produksi kopi di daerah Bandung meningkat pesat, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi” di Priangan. Keberhasilan itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV memperoleh “bintang jasa”, yaitu “Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw” dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu ia mendapat julukan “Dalem Bintang” dari masyarakat pribumi. Waktu itu, Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV adalah bupati yang memperoleh persentase penjualan kopi terbesar jumlahnya di antara bupati-bupati lain di Priangan, sehingga waktu itu ia merupakan bupati terkaya di Priangan, mungkin pula di Jawa Barat. Produksi kopi daerah Bandung makin meningkat setelah pemerintah memberlakukan Agrarischewet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870. Sejak tahun 1871 sistem penanaman kopi diubah menjadi sistem penanaman bebas. Pohon-pohon kopi di perkebunan diberikan kepada petani menjadi miliknya. Petani bebas menurut keinginan dan kemampuannya menanam kopi pada lahan garapannya, dan lahan itu bebas pajak. Oleh karena itu, para petani kopi makin semangat mengurus tanaman itu, agar mereka memperoleh hasil panen yang banyak. Memang kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi kopi. Untuk mendorong gairah petani, harga kopi juga ditingkatkan, dari 10 gulden menjadi 13 gulden per pikul. Penanaman kopi di Priangan yang berlangsung sampai dengan awal abad ke- 20, sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pribumi. Sampai-sampai masyarakat Sunda menggunakan istilah “ngopi”, bukan hanya pada minuman kopi, tetapi ditujukan pula pada penganan yang disuguhkan kepada pekerja. Hal itu berlangsung sampai sekarang.
Setelah mengetahui bagaimana manfaat penanaman kopi bagi penghijauan dan pelestarian hutan, serta dampaknya bagi kesejahteraan rakyat, timbul beberapa pertanyaan. Mengapa budaya penamaman kopi yang berlangsung sekian lama, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi”, sekarang musnah tanpa bekas dan pemerintah tidak menaruh perhatian terhadap hal tersebut? Kiranya hal itu sungguh suatu hal yang ironis, karena kesuburan lahan perbukitan dan ketinggian lahan Bandung, realtif tidak berubah. Oleh karena itu, reboisasi hutan di Bandung dengan tanaman kopi, mengapa tidak?
Dengan memahami dan memetik pelajaran dari sejarah, dalam hal ini sistem penanaman kopi di Priangan tempo dulu, khususnya sistem penananam bebas, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi, layak untuk dicoba. Tentu terlebih dahulu Pemkab Bandung menyusun konsep tentang sistem penanaman kopi. Konsep itu mencakup tahap-tahap pelaksanaan berikut kebijakan dan aturan-aturannya.Penyusunan konsep itu tidak hanya melibatkan dinas pertanian dan kehutanan, tetapi sebaiknya melibatkan pula pakar-pakar yang terkait dengan program reboisasi dengan tanaman kopi, termasuk pakar bidang sosial budaya yang memahami bahan atau sumber acauan. Bila perlu, draft konsep itu didiskusikan dalam forum terbatas, agar program tersebut mendapat jaminan untuk dapat dilaksanakan, meskipun dengan dana realtif kecil. Sebelum program dilaksanakan, terlebih dahulu konsep program itu diperkenalkan kepada tokoh-tokoh petani atau mitra tani dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, termasuk kepala desa, karena kepala desa adalah pejabat yang langsung berhubungan dengan rakyat/petani. Pengenalan program itu dimaksudkan untuk mengetahui respon masyarakat, khususnya petani calon pelaksana program. Hal itu sejalan dengan pernyataan atau penegasan Bupati Bandung beberapa waktu yang lalu, bahwa “visi dan misi Pemkab Bandung hanya dapat terwujud bila ada partisipasi masyarakat yang berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan, dan hakekat pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (PR, 22 dan 23 April 2003).
Dengan mencontoh sistem penanaman kopi secara bebas seperti tempo dulu, tentunya dengan memodivikasi hal-hal yang tidak relevan lagi dengan kondisi yang dihadapi sekarang, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan masukkan dana bagi Pemkab Bandung untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Demikian pula, apabila para petani memahami bahwa mereka bukan sekedar objek yang dikuasai, tetapi justru menjadi subjek yang bakal memperoleh keuntungan dari produksi kopi yang mereka tanam dan mereka pelihara, maka reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan kesehateraan bagi para petani. Bila ternyata demikian, hal itu berarti misi Pemkab Bandung yang ketiga, yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dan misi kelima, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah, dapat direalisasikan.
Mudahan-mudahan, urun rembug pemikiran dari seorang warga Bandung ini bermanfaat, setidaknya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melanjutkan program reboisasi. Pemkab Bandung tentu memahami, bahwa masyarakat sangat mengharapkan agar kondisi hutan berangsur-angsur pulih kembali. Bapak Bupati Bandung! Mohon jangan sampai warga masyarakat Bandung selalu bersenandung sendu, “hutanku sayang hutanku malang”.

Hari Jadi Kabupaten Majalengka



BENARKAH 7 JUNI HARI JADI KAB. MAJALENGKA?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Sesuai dengan perhatian saya terhadap sejarah daerah, khususnya sejarah daerah Jawa Barat, saya tidak bosan-bosan mengkritisi tanggal yang dianggap hari jadi kabupaten. Hal itu dilakukan semata-mata demi kebenaran sejarah. Sejarah harus berdasarkan fakta yang akurat dan sesuai dengan konteks permasalahannya. Oleh karena itu, tanggal yang dipilih sebagai hari jadi kabupaten, harus sesuai dengan fakta atau momentum berdirinya atau dibentuknya kabupaten. Alasannya sederhana, yaitu untuk menjawab pertanyaan, kapan kabupaten itu mulai berdiri atau dibentuk. Dengan kata lain, hari jadi kabupaten adalah tonggak sejarah kabupaten yang bersangkutan.
            Bagaimana kenyataannya? Seperti telah dikemukakan dalam koran ini beberapa waktu yang lalu, kabupaten-kabupaten di Jawa Barat yang berdiri jauh – puluhan bahkan ratusan tahun – sebelum proklamasi kemerdekaan, yaitu Bogor, Ciamis, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan, Sumedang, Tasikmalaya dan lain-lain, pemilihan tanggal hari jadinya tidak sesuai dengan fakta berdirinya kabupaten yang bersangkutan.
            Bagaimana halnya dengan Kabupaten Majalengka? Seperti diberitakan dalam koran ini tanggal 7 Juni 2007, bahwa sampai dengan tanggal tersebut, Kabupaten Majalengka telah berusia 517 tahun. Berarti tanggal berdirinya kabupaten itu adalah tanggal 7 Juni 1490. Anggapan bahwa tanggal 7 Juni 1490 adalah tanggal berdirinya Kabupaten Majalengka, bukan lagi diragukan, tetapi jelas salah. Pemilihan tanggal 7 Juni 1490 dikatakan salah, karena tidak sesuai dengan fakta berdirinya Kabupaten Majalengka. Sumbersumber sejarah Jawa Barat menunjukkan pada tahun itu Jawa Barat masih merupakan wilayah Kerajaan Sunda (Pajajaran). Waktu itu di daerah-daerah Jawa Barat belum ada pemerintahan dalam bentuk kabupaten. Akhir abad ke-15, di daerah yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Majalengka masih terdapat kerajaan kecil di Talaga dan Rajagaluh, keduanya bawahan Kerajaan Sunda.
            Di antara sumber-sumber tersebut juga menyatakan, bahwa Kabupaten Majalengka merupakan kelanjutan dari Kabupaten Maja. Sumber akurat menunjukkan, bahwa Maja menjadi kabupaten sehubungan dengan penetapan wilayah Keresidenan Cirebon yang mencakup lima kabupaten, yaitu Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Kuningan, dan Galuh. Pembagian wilayah itu ditetapkan oleh pemerintah kolonial tanggal 5 Januari 1819 (Staatsblad 1819 No. 9 dan 23). Bupati pertama yang memerintah Kabupaten Maja adalah Denda Negara (1819 – 1849), berkedudukan di Sindangkasih. Sejalan dengan perkembangan pemerintahan dan kehidupan masyarakat daerah setempat, tahun 1840 nama kabupaten dan ibukotanya, Sindangkashih, diubah menjadi Majalengka. Secara yuridis formal, perubahan nama itu ditetapkan dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 11 Februari 1840 (Staatsblad 1840 No. 7). Wilayah Kabupaten Majalengka mencakup dua kontrol-afdeling, yaitu Majalengka (daerah pusat kabupaten) dan Rajagaluh. Menurut tradisi lisan yang berkembang di Majalengka, perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka terjadi setelah Nyi Rambut (Ambet) Kasih – tokoh mitos yang dianggap sebagai penguasa pertama di Sindangkasih – ngahiang (menghilang). Diduga hal itu terjadi pada pertengahan abad ke-16.
            Uraian tersebut – meskipun secara garis besar – mengandung arti, bahwa secara metodologis, pemilihan tanggal 7 Juni 1490 sebagai hari jadi Kabupaten Majalengka, jelas salah. Walaupun tanggal 7 Juni (1490) dianggap sebagai hari jadi Majalengka, tanpa embel-embel kabupaten, tanggal itu tetap salah. Letak kesalahannya, tanggal itu tidak mengacu pada fakta/momentum yang seharusnya menjadi dasar acuan, baik fakta pembentukan Kabupaten Maja maupun momentum perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka atau perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka.
            Sesuatu yang jelas salah, perlu atau wajib diperbaiki. Demikian pula halnya dengan tanggal hari jadi Kabupaten Majalengka. Bila tidak, hal itu mengandung arti dan dampak negatif. Pertama, pengaburan tonggak sejarah Kabupaten Majalengka. Kedua, bila tanggal 7 Juni (1490) tetap dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Majalengka, hal itu berarti menyesatkan pengetahuan masyarakat, termasuk para siswa daerah setempat akan sejarah daerah mereka, khususnya pemahaman akan jati diri kabupaten mereka. Hal itu sangat mungkin terjadi karena masyarakat kita umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Apabila masyarakat kita memiliki kesadaran sejarah cukup tinggi, kesalahan dalam buku pelajaran sejarah untuk tingkat SLP dan SLA – yang digunakan pula di sekolah-sekolah di Majalengka – akan segera diketahui, khususnya oleh guru-guru pengajar sejarah dan pejabat dinas terkait. Seperti diketahui secara umum, buku pelajaran sejarah berdasarkan kurikulum 2004 yang mengandung berbagai kesalahan, baru ditarik dari peredaran setelah ada instruksi dari jaksa agung.             Berdasarkan hal-hal tersebut, perkenankan saya menghimbau agar tanggal hari jadi Kabupaten Majalengka – walaupun sudah ditetapkan dalam perda (peraturan daerah) – dikaji ulang, sehingga diperoleh tanggal yang benar atau mendekati kebenaran. Pengkajian atau penulisan ulang sejarah bukan hal tabu, melainkan keharusan. Namun, pencarian tanggal hari jadi kabupaten yang berdiri di abad-abad yang lampau, tidak boleh mengacu pada mitos atau perhitungan tradisional untuk mencari hari baik atau bulan baik. Mitos bukan tidak boleh menjadi pengetahuan, tetapi dalam menulis sejarah, perlu dibedakan secara tegas, mana mitos dan mana sejarah.
            Apabila kritik konstruktif tersebut di atas dikaitkan dengan pendidikan, kritik itu merupakan koreksi yang penting artinya bagi pendidikan dan pengetahuan, yaitu bagi pengajaran sejarah kepada para siswa dan pengetahuan masyarakat, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman yang salah akan sejarah daerahnya. Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga memiliki fungsi edukatif, bahkan fungsi pragmatis. Hal itu tercermin dari ungkapan, antara lain "belajarlah dari sejarah", "sejarah adalah obor kebenaran", dan "sejarah adalah pedoman untuk membangun masa depan". Oleh karena itu, menulis sejarah, termasuk menentukan tanggal hari jadi kabupaten, harus benar, dalam arti berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
            Mudah-mudahan substansi tulisan ini mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemda dan DPRD Kabupaten Majalengka. Dalam hal ini, perlu dikemukakan, bahwa kritik tersebut bukan bermaksud menyalahkan (mendeskreditkan) pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan hari jadi Kabupaten Majalangka beberapa waktu yang lalu, melainkan sebagai sumbangsih pemikiran untuk kebenaran sejarah.



Penulis: Sejarawan senior Fakultas Sastra Unpad,
Anggota Dewan Pengurus Pusat Studi Sunda,
dan Anggota Dewan Pakar Sejarah & Budaya
RUWAT (Rukun Wargi Tatar) Sunda.
Catatan: Dimuat dalam PR, 16 Juni 2007.


Lesson Study dan Aplikasinya



LESSON STUDY DAN APLIKASINYA
DALAM PROSES PEMBELAJARAN[1]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra[2]


PENDAHULUAN

a.  Asal-usul
            Konsep Lesson Study (LS) diciptakan oleh orang Jepang bernama Makoto Yoshida dengan sebutan Yugyou Kenkyuu (Yugyou = lesson = pembelajaran;. Kenkyuu = study/research = penelitian). Oleh karena itu, konsep tersebut pertama kali dipraktekan di Jepang pada tingkat pendidikan dasar. Semula LS hanya diterapkan pada pembelajaran matematika. Dalam perkembangannya, LS diterapkan pada pembelajaran bidang lain di luar matematika, dan dipraktekkan pada tingkat sekolah menengah dan atas, bahkan di perguruan tinggi. Penerapan LS dalam proses pembelajaran kemudian diserap dan dilaksanakan oleh beberapa negara lain, termasuk Indonesia (mulai awal abad ke-21).

b. Definisi
            Definisi umum LS adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan pengetahuan bersama (mutual learning), untuk membangun komunitas belajar.

c.  Tujuan dan Manfaat LS
Tujuan utama LS :
1)     Memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai kegiatan belajar-mengajar. Bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar.
2)     Memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi guru lain (di luar peserta LS) untuk melaksanakan pembelajaran lebih baik.
3)     Meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri (penelitian/ pengkajian) kolaboratif.
4)     Membangun pengetahuan pedagogis, dalam arti seorang guru dapat menimba pengetahuan dan pengalaman dari guru lain.
Manfaat LS antara lain:
1)     guru dapat mendokumentasikan kinerja dan hasilnya;
2)     guru memperoleh umpan-balik dari anggota tim LS lain;
3)     guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan (menyebarluaskan) hasil akhir LS.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat ketiga dapat dikemas menjadi karya tulis ilmiah guru. Karya itu berguna pula untuk kepentingan kenaikan pangkat dan sertifikasi guru.
Manfaat LS tersebut penting artinya bagi guru, karena guru memperoleh bahan acuan untuk kepentingan kinerjanya.
1)     Memikirkan secara lebih seksama tentang tujuan materi pelajaran tertentu yang diajarkan kepada sisiwa.
2)     Memikirkan secara mendalam tentang tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, termasuk kecintaan/kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan.
3)     Mengkaji hal-hal terbaik yang dapat dan harus digunakan dalam pembelajaran, dengan belajar dari guru lain (peserta/partisipan LS) untuk menambah pengetahuan, misalnya tentang materi pelajaran. Hal itu berarti membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial.
4)     Mengembangkan kecakapan/keahlian, baik dalam merencanakan pelajaran maupun dalam melaksanakan pembelajaran.
5)     Meningkatkan pengamatan terhadap prilaku belajar siswa (”the eyes to see students”).

d. Tipe LS
LS dapat dibagi menjadi dua tipe/jenis.
1) LS Berbasis Sekolah.
Dilaksanakan oleh semua guru berbagai studi, termasuk kepala sekolah. Tujuannya, agar kualitas proses dan hasil pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan, dapat lebih ditingkatkan.
2) LS Berbasis MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
     Dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu.
Tujuannya, mengkaji secara mendalam proses pembelajaran mata pelajaran tertentu. Dengan demikian, LS tipe ini dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, seperti wilayah kecamatan, kabupaten atau provinsi.

e.  Sasaran LS
Sasaran utama LS adalah pelajaran penting, tetapi memiliki titik lemah dalam pembelajaran siswa, sehingga siswa cenderung sulit mempelajarinya atau terkesan pelajaran itu kurang diminati oleh siswa.
f.   Tahapan LS
Baik LS tipe 1 maupun LS tipe 2 pada umumnya dilaksanakan melalui proses yang mencakup tiga atau empat tahap, yaitu tahapan bersifat siklik yang berorientasi pada praktek.
1)     Plan (perencanaan).
2)     Do (pelaksanaan).
3)     See/Refleksi.
4)     Act (tindak lanjut).
Secara operasional, LS dilaksanakan oleh tim kecil (3 – 6 orang), terdiri atas kepala sekolah (fasilitator), guru model (guru pelajaran tertentu), dan pengamat (observer: guru pelajaran lain, dosen/pakar pendidikan, pejabat dinas pendidikan, tokoh masyarakat pemerhati masalah pendidikan).










APLIKASI LESSON STUDY
DALAM PROSES PEMBELAJARAN


LANDASAN
a.  Pilar Pendidikan
UNESCO (1996) menepatkan 4 (empat) pilar pendidikan yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran.
1)     Learning to know : belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan.
2)     Learning to do : belajar untuk memiliki keterampilan.
3)     Learning to live together : belajar untuk hidup bermasyarakat.
4)     Learning to be : belajar untuk mengembangkan diri secara maksimal.

b. PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 20 tentang Standar Pendidikan Nasional
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil bellajar.

c.  UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
¨ Pembinaan guru agar guru profesional.
¨ Pengakuan terhadap guru sebagai tenaga profesional bila memiliki:
1)   kualifikasi akademik (pendidikan S1 atau Diploma 4);
2)   kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional);
3)   serifikasi pendidik (diperoleh setelah mengikuti pendidikan profesional).


APLIKASI LESSON STUDY
            Aplikasi atau penerapan LS dalam proses pembelajaran berarti melaksanakan tahapan/prosedur LS secara baik dan benar serta cermat, agar tujuan LS tercapai dan bermanfaat untuk jangka panjang.


1
PLAN
(Pencanaan Pembelajaran)

¨ Pemilihan topik LS
¨ Identifikasi masalah pembelajaran: materi ajar, metode dan strategi pembelajaran, kendala yang dihadapi dan alternatif pemecahannya.
¨ Menentukan perangkat pembelajaran:
1.  Guru model
2.  Silabus - Rencana Pembelajaran (RP).
    3.  Pendukung pembelajaran: buku wajib (di perpustakaan sekolah), alat peraga, dll.
    4.  Lembar Kerja Siswa (LKS)
    5.  Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran.
    6.  Kelompok siswa dan denah tempat duduk, sehingga mudah diamati oleh observer.
    7.  Observer yang akan mengamati kerja kelompok siswa dan kinerja guru model.
    8.  Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide).
 
 





















Penjabaran ”Plan”
ü  Perencanaan pembelajaran harus dipikirkan secara matang dilandasi oleh sikap kritis. Perencanaan itu pada dasarnya dibuat oleh calon guru model (pelaksana pembelajaran). Dalam kegiatan itu ia sebaiknya berkolaborasi dengan kepala sekolah dan calon anggota/tim observer, khususnya pakar pendidikan, agar tujuan pembelajaran dan tujuan LS tercapai.
ü  Pemilihan topik LS didasarkan pada pentingnya mata pelajaran dan permasalahannya.
ü  Identifikasi masalah mencakup permasalahan pokok materi ajar dan permasalahan pembelajaran (kondisi nyata).
ü  Silabus harus disusun secara cermat. Materi ajar disusun secara sistematis sesuai dengan alokasi waktu, agar materi ajar dapat disampaikan kepada siswa secara tuntas. Penyusunan materi ajar berbasis kompetensi.
ü  Substansi perancangan LS sebaiknya dituangkan dalam lembar format perangcangan LS (lihat Lampiran).
ü  Instrumen penlilaian dibuat sesuai dengan unsur-unsur dan kondisi yang perlu dinilai. Instrumen penlilaian yang terpenting adalah lembar penilaian hasil pembelajaran dan lembar observasi.
ü  Perencanaan mengenai pendukung pembelajaran diarahkan pada sarana/ fasilitas penting, tetapi sarana/fasilitas yang dimiliki belum memadai, atau bahkan belum ada.
ü  Penentuan observer hendaknya didasarkan pada kapabilitas atau pengetahuan calon mengenai pelajaran yang akan menjadi topik/sasaran LS khususnya, dan bidang pendidikan pada umumnya. àThe man in the right place.


2
DO
(Pelaksanaan)

¨ Pengarahan singkat dari fasilitator (briefing).
¨ Latihan peserta LS
¨ Pelaksanaan LS:
·  Guru model menyampaikan materi ajar berdasarkan RP (silabus) yang   telah disepakati oleh tim LS.
·  Guru model mengadakan test untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi ajar.
·  Observer mengamati aktivitas siswa dan kinerja guru, serta mencatat hal-hal positif dan negatif proses pembelajaran pada lembar vobservasi.
·  Pengisian lembar penilaian.
 
 

















Penjabaran ”Do”
ü  Kegiatan diawali oleh kewajiban fasilitator, yaitu memberi pengarahan singkat kepada guru model dan observer tentang teknis pembelajaran yang akan dilakukan, metode yang digunakan, tahapan pelaksanaan pembelajaran, sifat observasi, dll.
ü  Sebelum pembelajaran dilaksanakan, sebaiknya terlebih dahulu diadakan latihan peserta LS. Tujuannya, agar pelaksanaan LS berjalan cukup lancar. Tidak menimbulkan masalah baru yang mengganggu pelaksanaan LS.
ü  Pelaksanaan LS:
·  Dalam proses penyampaian materi ajar, guru model bukan hanya dituntut untuk menguasai materi ajar secara deskriptif, tetapi dituntut pula untuk memiliki wawasan cukup luas mengenai hal-hal penting yang merupakan bagian dari materi ajar. Tuntutan itu terutama dalam pembelajaran materi ajar yang tercakup ke alam IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Misal, dalam pembelajaran sejarah, guru dituntut untuk dapat menjelaskan makna dan dampak atau pengaruh suatu peristiwa, agar siswa memahami arti penting belajar sejarah.
·  Soal test hendaknya sejalan dengan tujuan pembelajaran.
·  Observasi terutama diarahkan pada siswa, menyangkut hal-hal sebagai berikut:
-   aktivitas belajar siswa (aktif atau pasif);
-  interaksi siswa dengan siswa dan siswa dengan guru;
-  prilaku siswa dalam proses pembelajaran
Obervasi sebaiknya ditunjang oleh peralatan pendokumentasian (kamera foto atau kamera video). Namun observasi itu tidak menggangu konsentrasi guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
     ·  Observer mencatat hasil obervasi pada lembar observasi : nama atau kelompok siswa; evaluasi; dan tanggapan, saran atau kritik konstruktif mengenai proses pembelajaran.
     ·  Guru menilai hasil test secara obyektif, kemudian menuangkannya pada lembar penilaian.



3
SEE
(Refleksi)


¨ See (refleksi) dilakukan segera setelah praktik pembelajaran selesai.
¨ Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi anggota tim LS, dipimpin oleh kepala sekolah atau kordinator tim atau guru yang ditunjuk oleh tim LS.
    ·  Guru model (pelaksana pembelajaran) diberi kesempatan menyatakan kesan-kesannya tentang praktek pembelajaran.
    ·  Tanggapan observer.
    ·  Tanggapan balik dari guru model.
¨Rangkuman dan kesimpulan hasil kegiatan refleksi (evaluasi).
 
 



















Penjabaran ”See” (refleksi)
ü  Diskusi dalam tahap refleksi diawali oleh penyampaian kesan-kesan guru model mengenai pelaksanaan pembelajaran. Kesan-kesan itu terutama menyangkut sikap dan prilaku siswa dalam menerima pelajaran, serta kendala-kendala yang dihadapi.
ü  Observer memberikan tanggapan, saran atau kritik konstruktif mengenai proses pembelajaran. Namun tanggapan, saran atau kritik itu harus dilandasi oleh bukti-bukti yang diperoleh dari observasi, bukan berdasarkan opini observer.
ü  Guru model memberikan tanggapan balik terhadap tanggapan, saran atau kritik dari observer.
ü  Pembicaraan yang berkembang dalam diskusi menjadi umpan-balik untuk kepentingan perbaikan/peningkatan pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya setiap peserta memiliki catatan hasil diskusi.
ü  Hasil diskusi dirangkum dan disusun kesimpulannya secara tertulis, sehingga menjadi dokumen penting bagi tahap tindak lanjut (act).


4
ACT
(Tindak lanjut)


¨ Telaah atas kegiatan refleksi yang menghasilkan rangkuman dan kesimpulan dari proses pembelajaran.
¨ Memahami makna hasil telaah bagi tataran individual dan tataran manajerial.
¨ Merencanakan kegiatan LS berikutnya, dan mengumumkannya terutama kepada para guru.

 
 


















Penjabaran Act
ü  Dari tahap refleksi dapat diperoleh beberapa pengetahuan baru atau keputusan yang penting artinya bagi tararan individual dan tataran manajerial, yaitu untuk perbaikan/peningkatan pembelajaran.
     Pada tataran individual, pengetahuan baru dan atau keputusan penting itu menjadi modal bagi para guru dan observer dalam upaya mengembangkan pembelajaran ke arah lebih baik.
Pada tataran manajerial, pengetahuan baru dan atau keputusan penting itu merupakan masukan berharga bagi kepala sekolah dalam upaya mengembangkan atau mengoptimalkan manajemen pendidikan di sekolahnya. Dengan terlibat langsung dalam proses penerapan LS, ia menjadi lebih memahami potensi guru dan kondisi siswa yang sesungguhnya. Pemahaman akan hal itu penting artinya bagi kepala sekolah untuk mewujudkan kiprahnya sebagai pemimpin pendidikan yang kapabel dan berkualitas.
ü  Berdasarkan kegiatan pada tahap refleksi, kepala sekolah dalam kapasitas sebagai fasilitator LS membuat rencana pelaksanaan LS berikutnya.
Dalam menyusun rencana itu hendaknya diperhatikan situasi dan kegiatan pembelajaran di sekolah, yang tercermin dalam kalender kegiatan pembelajaran.






KESIMPULAN

Ø      LS adalah model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasilnya.
Ø      LS merupakan media strategi untuk pengembangan profesi guru.
Ø      LS mendorong terbentuknya komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten melakukan perbaikan secara kontinu (continuous improvement) mengenai pembelajaran dan cakupan masalahnya, baik pada tataran individu, tataran kelompok maupun sistem yang lebih umum.
Ø      LS pada satu segi mendorong guru memfokuskan perhatian dan bantuannya pada aktivitas dan sikap belajar siswa. Pada segi lain, LS mengurangi keterasingan guru.
Ø      LS mendorong siswa menunjukkan potensi masing-masing, khususnya kapabilitas dalam bidang tertentu.
Ø      Pengetahuan yang dibangun dari LS merupakan modal penting untuk meningkatkan kinerja dalam pembelajaran.
Ø      LS yang dirancang dengan baik dan benar, dapat memunculkan pemikiran akan kegiatan yang inovatif dan berkesinambungan.
 
 
























            Mudah-muhan uraian sederhana ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan formal, khususnya para guru dan kepala sekolah.



Bandung, 1 April 2010


SUMBER ACUAN
(Selektif)




Haryono, Setyo. 1010.
Pembelajaran Kolaboratif Melalui Lesson Study. Makalah. Seminar Nasional Lesson Study. Semarang, 14 Maret 2010, diselenggarakan oleh IKIP-PGRI Semarang.
Hendayana S. 2009
Lesson Study; Pengembangan Profesi Guru. Bandung : Rizqi Press
Lewis, Catherine C. (2002).
“Does Lesson Study Have a Future in the United States?” in http://www.sowi-online.de/journal/impressum.html
---------. (2002).
Lesson study; A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools.
Putro W. 2008.
“Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Lesson Study”.
 http://sawali.wordpress.com/2007/09/17/download-terbaru-panduan-sertifi-kasi-guru-dan-lessson-study. 23 November 2008).
Richardson, J. 2006.
“Lesson study; Teacher Learn How to Improve Instruction”. Nasional Staff Development Council. http://www.nsdc.org. ,03/05/06.
Saito, E. et al. 2005.
“Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia; Studi Kasus dari IMSTEP”. Mimbar Pendidikan, No.3. Th. XXIV: 24-32 (Jurnal Pendidikan).
Susilo, H. 2006.
Apa dan Mengapa Lesson Study Perlu Dilakukan untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA. Makalah. Seminar Peningkatan Profesionalisme Guru dan Dosen MIPA melalui Lesson Study. Singaraja, 25 November 2006.
Sutopo & Ibrahim. 2006.
Pengalaman IMSTEP dalam Implementasi Lesson Study. Makalah. Pelatihan Kemitraan LPTK-Sekolah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan MIPA. Hotel Yogyakarta, 27-29 Juli 2006.
Wang-Iverson, P. 2002
“Why Lesson Study”. http://www.rbs.org/lesson_study/confenrence/2002/ paper/ wang.shtml.
Yoshida, M. 2002.
“Developing Effective Use of the Blackboard through Lesson Study”.
http://www.rbs.org/lesson_study/confenrence/2002/paper/Yoshida_
blacboard.shtml

Lampiran
PERANCANGAN LESSON STUDY
(Contoh Alternatif)

1.
Topik/Judul LS

2.
Tujuan

3.
Hubungan LS dengan kurikulum


Kelas …..





Kelas …..





Kelas …..




4.
Pola Pembelajaran dalam LS

5.
Prosedur LS



No.
Sasaran Evaluasi
Dukungan Guru
          Evaluasi
1.
Permasalahan


2.
Diskusi pemecahan masalah


3.
Solusi terhadap masalah


4.
Pemecahan masalah


5.
Rangkuman



6.
Evaluasi:












[1] Disampaikan dalam acara Pelatihan dan Seminar Nasional Keguruan di Talaga, 4 April 2010. Penyelenggara PGRI Kecamatan Talaga.
[2] Guru Besar Universitas Padjadjaran.