Sabtu, 12 Desember 2015

11 SEPTEMBER HARI JADI RRI, BUKAN HARI RADIO



 A. Sobana Hardjasaputra
 Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad & Unigal

          Pernyataan tentang sesuatu secara tertulis akan dipahami maknanya dari kalimat pernyataan itu. Dengan kata lain, dalam pernyataan tertulis, tepat-tidaknya makna pernyataan itu tergantung dari kalimatnya. Terhadap tanggal 11 September yang mengacu ke tahun 1945, berkaitan dengan berdirinya organ RRI, ada yang menyatakan secara tertulis, bahwa tanggal itu adalah ”Hari Radio”. Tepatkah makna pernyataan itu? Untuk memahami tepat-tidaknya makna pernyataan tersebut, baiklah kita simak lintasan sejarah radio di Indonesia sampai lahirnya RRI (Radio Republik Indonesia), untuk mengetahui latar belakang dan proses lahirnya RRI.
          Sumber-sumber akurat memuat informasi bahwa keberadaan organ radio di Indonesia berawal dari berdirinya Studio Radio Pemancar tanggal 2 Mei 1923. Studio Radio Pemancar itu berlokasi di kawasan Gunung Malabar, daerah Bandung selatan. Kira-kira dua tahun kemudian, para pencinta radio di Batavia (Jakarta) mendirikan BRV singkatan dari Bataviase Radio Vereniging (Perkumpulan Radio Batavia). BRV berdiri tanggal 16 Juni 1925.
          Keberadaan BRV mendorong lahirnya radio swasta di beberapa kota besar. Radio-radio swasta itu antara lain, NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep, Radio Siaran Hindia Belanda) di Jakarta, Bandung dan Medan. Di Medan juga terdapat AVROM (Algemeene Vereniging Radio Omroep Medan, Perkumpulan Umum Radio Siaran Medan). VORO (Vereniging Oosterche Radio Omroep, Perkumpulan Radio Siaran Ketimuran) di Jakarta. SRV (Solosche Radio Vereniging, Perkumpulan Radio Solo) di Solo. MAVRO (Mataramse Vereniging voor Radio Omroep, Perkumpulan Radio Siaran Mataram) di Yogyakarta. EMRO (Eerste Madiunse Radio Omroep, Radio Siaran Pertama Madiun) di Madiun. CIRCO (Chineese en Inheemse Radio Omroep, Radio Siaran Cina dan Pribumi) di Surabaya. Radio-radio swasta itu berdiri sejak awal tahun 1930-an.
          Sementara itu, kalangan tokoh pergerakan nasional pun menaruh perhatian terhadap radio. M. Sutarjo Kartohadikusumo, tokoh pergerakan nasional yang menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat dalam pemerintahan Hindia Belanda), memiliki gagasan untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh radio swasta. Pertemuan berlangsung di Bandung tanggal 29 Maret 1937, dihadiri oleh wakil-wakil dari VORO, VORL, SRV, MAVRO, dan CIRCO. Hasilnya adalah membentuk badan baru radio dengan nama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran, disingkat PPRK dengan ketua M. Sutarjo Kartohadikusumo. Tujuan PPRK adalah memajukan kesenian dan kebudayaan nasional. Oleh karena itu PPRK bersifat non-komersial. Untuk mencapai tujuan itu, PPRK berupaya untuk menjalin kerjasama dengan NIROM, dan berhasil. Selanjutnya PPRK berusaha keras untuk menyelenggarakan siaran sendiri, tanpa bantuan NIROM. Aktivitas radio-radio tersebut berlangsung sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda (awal Maret 1942).
          Pada zaman pendudukan Jepang, organ-organ radio zaman Belanda dimatikan, kemudian diurus oleh sebuah jawatan bernama Hoso Kanri Kyoku (Pusat Jawatan Radio) berkedudukan di Jakarta. Cabang-cabangnya disebut Hoso Kyoku (Jawatan Radio), terdapat di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta (Solo), Semarang, Malang, dan Surabaya. Pemerintah Militer Jepang juga mendirikan kantor berita, yaitu Kantor Berita Domei di Jakarta.
          Pertengahan tahun 1945, pasukan Jepang di medan perang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Akhirnya Jepang menyerah kepada pihak Sekutu (14 Agustus 1945), setelah dua daerah di negeri Jepang, yaitu Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Sekutu.
          Meskipun tentara Jepang masih berada di Indonesia, karena mendapat tugas dari pihak Sekutu untuk menjaga status quo, dan Jakarta pun masih dijaga oleh tentara Jepang, namun tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pembacaan teks proklamasi itu berlangsung di kediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional.
          Sore harinya, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil disiarkan dari Kantor Berita Domei. Peristiwa itu terjadi setelah seorang wartawan yang telah memperoleh teks proklamasi dan penyiar radio Yusuf Ronodipuro serta Suprapto berhasil menyusup ke kantor berita itu. Bekerjasama dengan bagian teknik, saluran modulasi radio siaran luar negeri di kantor berita itu dihubungkan dengan radio pemancar di Tanjung Priok. Teks proklamasi dibacakan secara bergantian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing oleh Yusuf Ronodipuro dan Suprapto selama 15 menit. Penyiaran teks proklamasi kemerdekaan juga berlangsung di Bandung Hoso Kyoku.
          Naas menimpa Yusuf Ronodipuro. Ketika ia keluar dari Kantor Berita Domei, ia ditangkap oleh tentara Jepang dan disiksa, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam perjalanan pulang, Yusuf Ronodipuro menemui Dokter Abdulrachman Saleh alias ”Pak Karbol” di rumahnya Jalan Kimia Jakarta, dan menceriterakan pengalamannya.
          Ceritera Yusuf Ronodipuro membangkitkan semangat juang Dokter Abdulrachman Saleh. Malam itu juga ia mengangkut perlengkapan radio pemancar buatannya ke ruang Laboratorium Ilmu Faal di gedung Sekolah Tinggi Kedokteran (sekarang Fakultas Kedokteran UI) Salemba. Dokter Abdulrachman Saleh melangsungkan siaran dalam negeri dan luar negeri. Siaran dalam negeri menggunakan kode (call sign) ”Suara Indonesia Merdeka”, siaran luar negeri mengunakan kode ”The Voice of Free Indonesia”. Siaran diawali oleh rekaman pidato Bung Karno dan Bung Hatta.
          Sementara itu, para tokoh radio menyadari betul bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan kedaulatan RI harus ditegakkan, karena tentara Jepang masih bercokol di Indonesia dan bakal menghadapi tentara Sekutu yang mengambilalih kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI, hubungan antara pemerintah dengan para pejuang dan komponen bangsa lainnya harus berlangsung secara cepat. Hal itu memerlukan alat komunikasi yang tepat, yaitu radio.
          Berdasarkan pemikiran itu, Dokter Abdulrachman Saleh, Maladi, dan sejumlah tokoh radio dari beberapa daerah mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam daerah Pejambon. Rapat berlangsung tanggal 11 September 1945 dengan hasil membentuk RRI (Radio Republik Indonesia) dan memilih Dokter Abdulrachman Saleh sebagai pemimpin umum RRI. Pada saat itu pula Dokter Abdulrachman Saleh dan kawan-kawan merumuskan deklarasi berisi tiga tugas dan fungsi utama RRI, yang kemudian disebut ”Tri Prasetya RRI”. Dokter Abdulrachman Saleh juga melontarkan semboyan RRI, ”Sekali di udara tetap di udara”.
          Pada tahap awal RRI terdiri atas delapan stasiun radio, yaitu RRI Jakarta sebagai RRI Pusat dan tujuh stasiun RRI yang berada di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Semarang, Malang, dan Surabaya. Sejalan dengan gejolak revolusi kemerdekaan, beberapa waktu kemudian di Pulau Jawa dan Sumatera berdiri RRI-RRI baru. Waktu itu fungsi dan peranan utama RRI adalah sebagai alat perjuangan menegakkan kedaulatan RI.
          Sampai awal tahun 1946, kedudukan RRI belum jelas. Di kalangan insan radio muncul dua pendapat. Sebagian berpendapat, RRI sebaiknya merupakan badan swasta. Sebagian lagi menyatakan bahwa RRI harus menjadi organ pemerintah.
          Untuk menetapkan kedudukan RRI diselenggarakan konferensi radio sampai dua kali. Konferensi pertama berlangsung tanggal 12 Januari 1946 di Surakarta, dipimpin oleh Dokter Abdulrachman Saleh. Konferensi kedua berlangsung tanggal 23-24 Januari 1946 di Purwokerto. Berdasarkan hasil konferensi itu Menteri Penerangan RI Moh. Natsir mengangkat Maladi sebagai Kepala Jawatan RRI, dan tanggal 1 April 1946 RRI ditetapkan menjadi Jawatan Radio di bawah Kementerian Penerangan RI.
          Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebutan ”Hari Radio” kurang tepat ditujukan pada tanggal 11 September. Sebutan itu bersifat umum. Bila diterapkan di Indonesia sebutan itu mengacu pada tiga alternatif tanggal. Pertama, tanggal 2 Mei 1923, berdirinya Studio Radio Pemancar di Bandung (kawasan Gunung Malabar). Kedua, tanggal 16 Juni 1925, berdirinya BRV (Bataviase Radio Vereniging. Ketiga, tanggal 29 Maret 1937, berdirinya PPRK (Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran). Oleh karena itu, sesuai dengan kejadiannya, tanggal 11 September lebih tepat disebut Hari Jadi RRI, bukan Hari Radio.
          Mudah-mudahan penjelasan itu bermanfaat bagi pengetahuan masyarakat. Dirgahayu RRI dalam usia ke 68 tahun. Semoga program-program siaran RRI makin berkualitas dan menarik, sehingga RRI tetap dicintai oleh masyarakat.