A. Sobana Hardjasaputra
Guru
Besar Ilmu Sejarah Unpad & Unigal
|
Pernyataan tentang sesuatu secara
tertulis akan dipahami maknanya dari kalimat pernyataan itu. Dengan kata lain,
dalam pernyataan tertulis, tepat-tidaknya makna pernyataan itu tergantung dari
kalimatnya. Terhadap tanggal 11 September yang mengacu ke tahun 1945, berkaitan
dengan berdirinya organ RRI, ada yang menyatakan secara tertulis, bahwa tanggal
itu adalah ”Hari Radio”. Tepatkah makna pernyataan itu? Untuk memahami tepat-tidaknya
makna pernyataan tersebut, baiklah kita simak lintasan sejarah radio di
Indonesia sampai lahirnya RRI (Radio Republik Indonesia), untuk mengetahui
latar belakang dan proses lahirnya RRI.
Sumber-sumber akurat memuat informasi
bahwa keberadaan organ radio di Indonesia berawal dari berdirinya Studio Radio
Pemancar tanggal 2 Mei 1923. Studio Radio Pemancar itu berlokasi di kawasan
Gunung Malabar, daerah Bandung selatan. Kira-kira dua tahun kemudian, para
pencinta radio di Batavia (Jakarta) mendirikan BRV singkatan dari Bataviase Radio Vereniging (Perkumpulan
Radio Batavia). BRV berdiri tanggal 16 Juni 1925.
Keberadaan BRV mendorong lahirnya
radio swasta di beberapa kota besar. Radio-radio swasta itu antara lain, NIROM
(Nederlandsch-Indische Radio Omroep,
Radio Siaran Hindia Belanda) di Jakarta, Bandung dan Medan. Di Medan juga
terdapat AVROM (Algemeene Vereniging
Radio Omroep Medan, Perkumpulan Umum Radio Siaran Medan). VORO (Vereniging Oosterche Radio Omroep, Perkumpulan
Radio Siaran Ketimuran) di Jakarta. SRV (Solosche
Radio Vereniging, Perkumpulan Radio Solo) di Solo. MAVRO (Mataramse Vereniging voor Radio Omroep,
Perkumpulan Radio Siaran Mataram) di Yogyakarta. EMRO (Eerste Madiunse Radio Omroep,
Radio Siaran Pertama Madiun) di Madiun. CIRCO (Chineese en Inheemse Radio Omroep, Radio Siaran Cina dan Pribumi)
di Surabaya. Radio-radio swasta itu berdiri sejak awal tahun 1930-an.
Sementara itu, kalangan tokoh
pergerakan nasional pun menaruh perhatian terhadap radio. M. Sutarjo
Kartohadikusumo, tokoh pergerakan nasional yang menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat dalam
pemerintahan Hindia Belanda), memiliki gagasan untuk mengadakan pertemuan
dengan tokoh-tokoh radio swasta. Pertemuan berlangsung di Bandung tanggal 29 Maret
1937, dihadiri oleh wakil-wakil dari VORO, VORL, SRV, MAVRO, dan CIRCO.
Hasilnya adalah membentuk badan baru radio dengan nama Perikatan Perkumpulan
Radio Ketimuran, disingkat PPRK dengan ketua M. Sutarjo Kartohadikusumo. Tujuan
PPRK adalah memajukan kesenian dan kebudayaan nasional. Oleh karena itu PPRK
bersifat non-komersial. Untuk mencapai tujuan itu, PPRK berupaya untuk menjalin
kerjasama dengan NIROM, dan berhasil. Selanjutnya PPRK berusaha keras untuk
menyelenggarakan siaran sendiri, tanpa bantuan NIROM. Aktivitas radio-radio
tersebut berlangsung sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda (awal Maret
1942).
Pada zaman pendudukan Jepang,
organ-organ radio zaman Belanda dimatikan, kemudian diurus oleh sebuah jawatan
bernama Hoso Kanri Kyoku (Pusat Jawatan Radio) berkedudukan di Jakarta.
Cabang-cabangnya disebut Hoso Kyoku
(Jawatan Radio), terdapat di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta (Solo),
Semarang, Malang, dan Surabaya. Pemerintah Militer Jepang juga
mendirikan kantor berita, yaitu Kantor Berita Domei di Jakarta.
Pertengahan tahun 1945, pasukan Jepang
di medan perang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Akhirnya Jepang menyerah
kepada pihak Sekutu (14 Agustus 1945), setelah dua daerah di negeri Jepang,
yaitu Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Sekutu.
Meskipun tentara Jepang masih berada
di Indonesia, karena mendapat tugas dari pihak Sekutu untuk menjaga status quo,
dan Jakarta pun masih dijaga oleh tentara Jepang, namun tanggal 17 Agustus 1945
pagi hari, Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pembacaan teks proklamasi itu
berlangsung di kediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dihadiri
oleh sejumlah tokoh nasional.
Sore harinya, teks proklamasi kemerdekaan
Indonesia berhasil disiarkan dari Kantor Berita Domei. Peristiwa itu terjadi
setelah seorang wartawan yang telah memperoleh teks proklamasi dan penyiar
radio Yusuf Ronodipuro serta Suprapto berhasil menyusup ke kantor berita itu.
Bekerjasama dengan bagian teknik, saluran modulasi radio siaran luar negeri di
kantor berita itu dihubungkan dengan radio pemancar di Tanjung Priok. Teks
proklamasi dibacakan secara bergantian dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, masing-masing oleh Yusuf Ronodipuro dan Suprapto selama 15 menit. Penyiaran
teks proklamasi kemerdekaan juga berlangsung di Bandung Hoso Kyoku.
Naas menimpa Yusuf Ronodipuro. Ketika
ia keluar dari Kantor Berita Domei, ia ditangkap oleh tentara Jepang dan
disiksa, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam perjalanan pulang, Yusuf Ronodipuro
menemui Dokter Abdulrachman Saleh alias ”Pak Karbol” di rumahnya Jalan Kimia
Jakarta, dan menceriterakan pengalamannya.
Ceritera Yusuf Ronodipuro
membangkitkan semangat juang Dokter Abdulrachman Saleh. Malam itu juga ia
mengangkut perlengkapan radio pemancar buatannya ke ruang Laboratorium Ilmu
Faal di gedung Sekolah Tinggi Kedokteran (sekarang Fakultas Kedokteran UI)
Salemba. Dokter Abdulrachman Saleh melangsungkan siaran dalam negeri dan luar
negeri. Siaran dalam negeri menggunakan kode (call sign) ”Suara Indonesia Merdeka”, siaran luar negeri mengunakan
kode ”The Voice of Free Indonesia”.
Siaran diawali oleh rekaman pidato Bung Karno dan Bung Hatta.
Sementara itu, para tokoh radio
menyadari betul bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan kedaulatan
RI harus ditegakkan, karena tentara Jepang masih bercokol di Indonesia dan
bakal menghadapi tentara Sekutu yang mengambilalih kekuasaan Jepang di
Indonesia. Dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI, hubungan antara
pemerintah dengan para pejuang dan komponen bangsa lainnya harus berlangsung
secara cepat. Hal itu memerlukan alat komunikasi yang tepat, yaitu radio.
Berdasarkan pemikiran itu, Dokter
Abdulrachman Saleh, Maladi, dan sejumlah tokoh radio dari beberapa daerah mengadakan
rapat di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam daerah Pejambon. Rapat
berlangsung tanggal 11 September 1945
dengan hasil membentuk RRI (Radio
Republik Indonesia) dan memilih Dokter Abdulrachman Saleh sebagai pemimpin
umum RRI. Pada saat itu pula Dokter Abdulrachman Saleh dan kawan-kawan
merumuskan deklarasi berisi tiga tugas dan fungsi utama RRI, yang kemudian
disebut ”Tri Prasetya RRI”. Dokter Abdulrachman Saleh juga melontarkan semboyan
RRI, ”Sekali di udara tetap di udara”.
Pada tahap awal RRI terdiri atas
delapan stasiun radio, yaitu RRI Jakarta sebagai RRI Pusat dan tujuh stasiun
RRI yang berada di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Semarang,
Malang, dan Surabaya. Sejalan dengan gejolak revolusi kemerdekaan, beberapa waktu
kemudian di Pulau Jawa dan Sumatera berdiri RRI-RRI baru. Waktu itu fungsi dan
peranan utama RRI adalah sebagai alat perjuangan menegakkan kedaulatan RI.
Sampai awal tahun 1946, kedudukan RRI
belum jelas. Di kalangan insan radio muncul dua pendapat. Sebagian berpendapat,
RRI sebaiknya merupakan badan swasta. Sebagian lagi menyatakan bahwa RRI harus
menjadi organ pemerintah.
Untuk menetapkan kedudukan RRI diselenggarakan
konferensi radio sampai dua kali. Konferensi pertama berlangsung tanggal 12
Januari 1946 di Surakarta, dipimpin oleh Dokter Abdulrachman Saleh. Konferensi
kedua berlangsung tanggal 23-24 Januari 1946 di Purwokerto. Berdasarkan hasil
konferensi itu Menteri Penerangan RI Moh. Natsir mengangkat Maladi sebagai
Kepala Jawatan RRI, dan tanggal 1 April 1946 RRI ditetapkan menjadi Jawatan
Radio di bawah Kementerian Penerangan RI.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebutan
”Hari Radio” kurang tepat ditujukan pada tanggal 11 September. Sebutan itu
bersifat umum. Bila diterapkan di Indonesia sebutan itu mengacu pada tiga
alternatif tanggal. Pertama, tanggal 2 Mei 1923, berdirinya Studio Radio
Pemancar di Bandung (kawasan Gunung Malabar). Kedua, tanggal 16 Juni 1925, berdirinya
BRV (Bataviase Radio Vereniging.
Ketiga, tanggal 29 Maret 1937, berdirinya PPRK (Perikatan Perkumpulan Radio
Ketimuran). Oleh karena itu, sesuai dengan kejadiannya, tanggal 11 September lebih tepat disebut Hari Jadi RRI, bukan Hari Radio.
Mudah-mudahan penjelasan itu
bermanfaat bagi pengetahuan masyarakat. Dirgahayu RRI dalam usia ke 68 tahun.
Semoga program-program siaran RRI makin berkualitas dan menarik, sehingga RRI
tetap dicintai oleh masyarakat.