Minggu, 23 Juni 2013

Kesultanan Kasepuhan Cirebon Eksistensinya Belum Terdokumentasikan




KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON
Fungsi dan Peranannya Pada Setiap Zaman
Belum Terdokumentasikan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013




            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada  setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial  ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar