Selasa, 06 Agustus 2013

Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya



ASAL-USUL KABUATEN TASIKMALAYA
DAN KAJIAN HARI JADINYA[1]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra[2]


PENDAHULUAN
            Untuk mengetahui Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya yang benar menurut fakta sejarah, asal-usul kabupaten itu perlu dipahami dengan baik. Hal itu disebabkan pembentukan suatu kabupaten adalah peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya (history as past actuality).
            Setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) runtuh (1579/1580), di wilayah Priangan terdapat dua pemerintahan berbentuk kerajaan, yaitu Galuh dan Sumedang Larang. Pada awal abad ke-17, wilayah Priangan dikuasai oleh Kerajaan Mataram, ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645). Akibatnya, status Kerajaan Galuh berubah menjadi Kabupaten Galuh dan Kerajaan Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten Sumedang. Berdasarkan fakta sejarah, dua kabupaten itulah yang pertama kali berdiri di wilayah Priangan.
            Sultan Agung berambisi menguasasi Priangan dengan tujuan untuk menjadikan wilayah itu sebagai batu loncatan dalam upaya mengusir Kompeni dari Batavia. Untuk melaksanakan upaya itu, Sultan Agung meminta bantuan Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur (sebagian daerah Priangan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang), untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni. Tahun 1628 Dipati Ukur memimpin pasukannya menyerang Kompeni di Batavia. Namun serangan Dipati Ukur gagal, karena pasukan Mataram terlambat datang ke Batavia. Kegagalan itu menyebabkan Dipati Ukur memberontak terhadap pihak Mataram.


PEMBENTUKAN KABUPATEN SUKAPURA
            Untuk menumpas pemberontakan Dipati Ukur, Sultan Agung meminta bantuan beberapa kepala daerah di Priangan. Berkat bantuan para kepala daerah itu, pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas pada akhir tahun 1631/awal 1632. Kepala daerah yang dianggap paling berjasa membantu Mataram adalah Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti), Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta), dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih).
            Sebagai imbalan atas jasa para kepala daerah itu, Sultan Agung pertama kali mengangkat Ki Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Hal itu dinyatakan dalam Piagĕm[3] (Piagam) bertanggal 9 Muharam taun Jimakhir (26 Juli 1632). Kemudian dengan Piagĕm tanggal 9 Muharam taun Alip (16 Juli 1633) Sultan Agung juga mengangkat Ki Astamanggala menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun dan Ki Somahita menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya, sekaligus mengukuhkan pengangkatan Ki Wirawangsa (Tumenggung Wiradadaha) sebagai Bupati Sukapura. Berarti sejak tanggal 16 Juli 1633 di wilayah Priangan berdiri tiga kabupaten baru, yaitu Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang.
Semula Kabupaten Sukapura beribukota di Dayeuh Tengah. Dalam perjalanan sejarahnya, ibukota kabupaten itu berkali-kali pindah[4]. Setelah beberapa tahun Kabupaten Sukapura beribukota di Manonjaya, ibukota kabupaten pindah lagi kota baru Tasikmalaya yang diresmikan tanggal 1 Oktober 1901. Tahun 1913 – masa pemerintahan Bupati R.A.A. Wiratanuningrat (1908-1937) –nama kabupaten diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya, sesuai dengan nama ibukotanya. Berarti Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura. Dengan kata lain, Kabupaten Sukapura merupakan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya.


Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya
            Uraian tersebut mengandung arti bahwa dari segi metodologi sejarah ada dua alternatif tanggal yang seharusnya dipilih salah satunya sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya.
Alternatif  I : Tanggal 26 Juli 1632, yaitu tanggal pengangkatan Ki Wirawangsa            (Tumenggung Wiradadaha) menjadi Bupati Sukapura, yang berarti   tanggal berdirinya Kabupaten Sukapura.
Alternatif II :  Momentum pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi        Kabupaten Tasikmalaya (tahun 1913). Tanggal dan bulannya dapat      ditemukan, karena pergantian nama kabupaten zaman    pemerintahan Hindia     Belanda diresmikan dengan besluit (surat           keputusan) gubernur jenderal, yang alinannya dimuat dalam        Staatsblad (Lembaran Negara).
            Bila kedua alternatif tanggal itu dihubungkan dengan tanggal 21 Agustus 1111, yang sejak tanggal 1 Agustus 1975 (SK DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya No. Dp 041.2/ 8/1975) sampai hari ini dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, jelas anggapan itu salah, karena tanggal itu tidak sesuai konteks permasalahannya. Memang tanggal 21 Agustus 1111 juga adalah fakta sejarah, tetapi bukan fakta berdirinya Kabupaten Sukapura dan bukan pula tanggal digantinya nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Tanggal 21 Agustus 1111 adalah tanggal Prasasti Geger Hanjuang. Prasasti itu berisi informasi tentang berdirinya Kerajaan Galunggung, ditandai oleh upacara penobatan Batari Hyang menjadi penguasa Kerajaan Galunggung dengan sebutan Ratu Galunggung. Berarti Kerajaan Galunggung bukan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa sampai abad ke-15, di wilayah Priangan belum ada pemerintahan dalam bentuk kabupaten.
            Dalam ilmu sejarah, kesalahan itu disebut kesalahan verifikasi (kesalahan pembuktian). Kesalahan itu juga merupakan kesalahan penafsiran, yaitu menganggap Kerajaan Galunggung sebagai cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya. Konsekuensi dari kesalahan itu, tanggal Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya harus diganti, dengan mengacu pada dua alternatif tanggal tersebut di atas. Pergantian itu selain tuntutan metodologi sejarah juga terkait dengan tanggungjawab moral, yaitu untuk tidak mewarisi generasi penerus dengan sejarah yang salah.


PENUTUP
            Tanggal 21 Agustus 1111 tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, baik secara ilmiah maupun secara rasional. Fakta sejarah menunjukkan, 21 Agustus 1111 bukan tanggal pembentukan Kabupaten Sukapura dan bukan pula tanggal pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Oleh karena itu, Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya harus segera diganti oleh salah satu alternatif tanggal yang telah disebutkan.
            Alternatif mana dari dua alternatif tanggal tersebut yang tepat atau memadai untuk dipilih dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, perlu dibahas oleh tim khusus dengan melibatkan sejarawan profesional yang memahami masalah tersebut. Hasil pembahasan – maaf bukan mapatahan ngojay ka meri (menggurui) – ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya menggantikan tanggal 21 Agustus 1111, setelah terlebih dahulu mencabut SK DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya No. Dp 041.2/ 8/1975, yang menetapkan tanggal 21 Agustus 1111 sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya. Tindak lanjutnya, pergantian tanggal hari jadi itu disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
            Menurut pemikiran saya berdasarkan kaidah metodologi sejarah, alternatif I, yaitu tanggal 26 Juli 1632 (tafsiran dari 9 Muharam taun Jimakhir), tanggal pembentukan Kabupaten Sukapura, lebih tepat/memadai dipilih sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya daripada alternatif II. Dasar pemikiranya menyangkut dua hal. Pertama, Kabupaten Sukapura – seperti telah disebutkan – merupakan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya, atau Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura. Kedua, warga Sukapura, khususnya keturunan Buapti Sukapura, tidak akan merasa disisihkan. Hal yang kedua penting untuk diperhatikan agar tidak menimbulkan pro-kontra seperti yang telah terjadi atas pemilihan/penetapan tanggal 21 Agustus (1111).
            Perlu dikemukakan bahwa pemilihan/penetapan tanggal 26 Juli 1632 yang berasal dari piagĕm pengangkatan Ki Wirawangsa menjadi Bupati (pertama) Sukapura, bukan berarti mengagungkan Sultan Agung Raja Mataram dan bukan pula mengistimewakan warga Sukapura, tetapi tanggal tersebut secara metodologi sejarah adalah tanggal yang tepat atau memadai, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional, menjadi Hari Jadi Kabupaten Sukapura. Seperti telah disebutkan, Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura.
            Alternatif II yaitu tanggal pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya, dapat pula dipilih sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, namun ada tetapinya, yaitu pemilihan tanggal alternatif II akan menimbulkan kekhawatiran atau dampak negatif. Generasi penerus warga Tasikmalaya dan orang yang tidak memahami kesejarahan Sukapura-Tasikmalaya, akan berpendapat bahwa tanggal itu (tahun 1913) adalah tanggal pertamakali adanya pemerintahan kabupaten di daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya. Bila hal itu menjadi bagian dari materi pelajaran (mulok) di sekolah, berarti siswa diberi pengetahuan sejarah yang salah. Akibat lebih jauh, akan terjadi salah kaprah mengenai hal itu di kalangan masyarakat luas.


SUMBER ACUAN
(Selektif)



Ekadjati, Edi S. 1982.
            Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
de Haan, F. 1911.
            Priangan; De Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur    tot 1811. II. Batavia: BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
            Bupati-Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-17–19.                   Tesis. Yogyakarta: Uiversitas Gadjah Mada.
-------. 2003
            ”Hari Jadi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya Perlu Dikaji Ulang”. SK   Priangan, Juni 2003.
-------. 2006.
            ”Geger Hanjuang dan Hari Jadi Tasikmalaya”. Pikiran Rakyat, 29 Agustus         2006.
-------. 2010.
            ”21 Agustus 111 Bukan Hari Jadi Tasikmalaya”. Pikiran Rakyat, September      2010.
Holle, K.F. 1868.
            ”Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”. TBG, XVII: 34-432.
-------. 1869.
            ”Bijdragen Tot de Geschiedenis de Preanger-Regentschappen”. TBG, XVII: 341- 343.
Hoofdecomitte. 1932.
            Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Sukapura. (Tasikmalaja).
Kern, R.A. 1898.
            Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzigt. Bandung: De      Vries & Fabricius.
Kertinegara. t.th.
            Sedjarah Dipati Ukur dan Kabupaten Sukapura. Leiden: Universiteit Leiden.             Cod. Or. 7858.
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1931-1933.
            ”Manondjaja Dajeuh Narikolot”. Parahiangan, 48 (Berseri).
Soeria di Radja. 1927.
            ”Dipati Oekoer”. Poesaka Soenda, V, 3-4, Maret-April (Berseri).
Tim Peneliti Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya. 1973/1974.
            Hari Jadi Tasikmalaya. Laporan Hasil Penelitian. Tasikmalaya.
Volksalmanak Soenda. 1922, 1937.
            Batavia: Bake Poestaka.
Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961.
            Tina Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna     Karadjaan Padjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kalawarta Kudjang.

Lampiran
BIO DATA

Nama lengkap
: Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A.
Tempat & tgl. lahir
: Ciamis, 4 September 1944
Alamat
: Kompleks Perumahan Mandala, Jl. Mandala II No. 53

  Terusan Jl. Jatihandap, Cicaheum, Bandung 40193

  Tlp. (022) 7200330 – HP 0813 2203 2203
Pekerjaan
: Dosen MK Pengantar Ilmu Sejarah, Museologi, Kajian Budaya,

  Metode Penelitian, Bibliografi dan Kearsipan.
Jabatan
  Guru Besar Ilmu Sejarah FIB Univ. Padjadjaran & Univ. Galuh
Pendidikan tinggi
1. Sarjana Muda Sejarah (Unpad)

2. Sarjana Ilmu Perpustakaan (UI)

3. Sarjana Sejarah (Unpad)

4. Master Sejarah (UGM & Monash University Australia)

5. Doktor Sejarah (Monash University Australia & UI).
Profesi
: Sejarawan. Pemerhati masalah sejarah daerah & sosial budaya.
Hasil Penelitian/Karya
  1. Pemerintahan Daerah Jawa Barat Masa Revolusi Fisik,
Ilmiah, antara lain:
      1945-1949 (1980).

  2. Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad

      Ke-19 (Tesis, 1985).

  3. Peta Sosial Budaya Jawa Barat (1993/1994)

  4. Transportasi Kereta Api di Jawa Barat dan Pengaruhnya.

      Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi di Bandung dan

      Sekitarnya, 1884 – 1906 (1996)

  5. Jawa Barat Pasa Masa Pendudukan Jepang (1997).

  6. Sejarah Kota Bandung 1810-1906 & 1906-1945 (1999/2000)

  7. Perubahan Sosial di Bandung 1810 – 1906 (Disertasi, 2002).

  8. Sejarah Purwakarta Abad ke-19 – Abad ke-20 (2003)

  9. Sejarah Tangerang (2004)

10. Sejarah Sumedang (2005)

11. Metode Penelitian Sejarah (2007)

12. Teknik Penelitian dan Penulisan Sejarah (2009/2010)

13. Sejarah Cirebon Abad XV – Pertengahan Aabad XX (2011)

14. Berbagai makalah tentang sejarah dipresentasikan dalam loka-

      karya, kongres, seminar, dan simposium (tingkat nasional dan

      internasional)

15. Artikel-artikel tentang sejarah dan masalah sosial dalam media

      massa (surat kabar dan majalah/jurnal)
Pengalaman penelitian dll.
- Penelitian sumber sejarah dan budaya Jawa Barat, di dalam dan di

  luar negeri (Belanda, Inggris, Australia).

- Penemu Hari Jadi Kota Bandung (25 September 1810)

- Penemu Hari Jadi Purwakarta (20 Juli 1831)

- Penemu Hari Jadi Garut (16 Februari 1813)
Organisasi Profesi
- Lembaga Pusat Studi Sunda: Ketua Bidang Penelitian

- Wargi Galuh Puseur: Ketua Bidang Penelitian

- Ruwat (Rukun Wargi Tatar) Sunda: Dewan Pakar Sejarah Budaya


Bandung, 1 Maret 2013


Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A.


                [1] Makalah dalam Lokakarya bertema “Menggali Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya” tanggal 17 Juni 2013, diselenggarakan oleh Pemerintah/DPRD Kabupaten Tasikmalaya, bertempat di Ruang Serbaguna DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
                [2] Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran dan Universitas Galuh.
                [3] Piagam yang dari Sultan Agung menggunakan tanggal berdasarkan tarikh Jawa-Islam.
                [4] Kabupaten Sukapura mengalami lima kali perpinahan ibukota, yaitu dari Dayeuh Tengah ke ke Leuwi Loa, Kampung Empang (sekarang Kecamatan Sukaraja), Pasirpanjang, Manonjaya, dan Tasikmalaya.

Minggu, 23 Juni 2013

Kesultanan Kasepuhan Cirebon Eksistensinya Belum Terdokumentasikan




KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON
Fungsi dan Peranannya Pada Setiap Zaman
Belum Terdokumentasikan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013




            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada  setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial  ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013

Sabtu, 22 Juni 2013

A. Sobana Hs Refresing in Australia


A. Sobana Hardjasaputra bersama Sultan Sepuh XIV Cirebon







Bersama Sultan Sepuh XIV Cirebon





Reboisasi dengan kopi, mengapa tidak?




REBOISASI DENGAN KOPI MENGAPA TIDAK?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra


Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagian besar hutan di Jawa Barat, termasuk di daerah Kabupaten Bandung, sekarang ini dalam keadaan rusak akibat ulah sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Kerusakan hutan menyebabkan tanah longsor dan banjir besar di musim hujan. Selain mengakibatkan tanaman pertanian rusak, tanah longsor dan banjir itu kadang-kadang merenggut jiwa manusia.
Dalam menanggulangi kerusakan hutan, Pemkab Bandung membuat program reboisasi, dan program itu telah dilaksanakan dengan menanam tanaman buahbuahan (advokat, durian, kesemek, dan lain-lain). Akan tetapi, pelaksanaan program reboisasi itu tidak ditunjang oleh biaya pemeliharaan, dan diikuti oleh pengelolaan yang berkelanjutan. Akibatnya, program itu menjadi tidak efektip. Bibit tanaman menjadi rusak, karena tidak diurus, bahkan terjadi pencabutan bibit tanaman oleh oknum perambah hutan. Hal itu dinyatakan oleh Yeyet Sukayat, Wakil Ketua Gerakan Pramuka Tingkat Kabupaten Bandung Bidang Penghijauan beberapa waktu yang lalu. Hal senada juga dikatakan oleh Didin Rosidin, Sekretaris Eksekutif Forum Peduli Citarum (FPC). Bibit tanaman buah-buahan sebanyak 30.000 pohon yang ditanam oleh Gerakan Pramuka di 43 kecamatan di Kabupaten Bandung, 70 persen di antaranya rusak (PR, 19 Maret 2004)

Mengapa kopi?
Dalam upaya mengganti tanaman reboisasi yang rusak itu, ada baiknya apabila Pemkab Bandung mempertimbangkan tanaman kopi sebagai tanaman reboisasi utama. Mengapa kopi? Sejarah Priangan menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-18, daerah Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan. Setelah daerah Priangan dikuasai oleh Kompeni (sejak tahun 1677), Kompeni memberlakukan penanaman wajib di Priangan, terutama kopi, dalam sistem yang disebut Preangerstelsel (Sistem Priangan). Penanaman wajib kopi di Priangan mulai dirintis tahun 1707. Tahun 1789 perkebunan kopi di daerah perbukitan Bandung berhasil dengan baik. Menurut ilmu pertanian, memang daerah perbukitan Bandung, baik kesuburan tanah maupun ketinggiannya dari permukaan laut (dpl), sangat cocok untuk menanam kopi.
Penanaman kopi di Priangan dengan Bandung sebagai pusatnya, dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada dekade pertama abd ke-19, pohon kopi tua di daerah Bandung hampir mencapai jumlah 3 juta pohon. Penanaman dan pemeliharaan pohon kopi itu dikoordinir oleh pejabat pemerintah kabupaten di bawah pimpinan bupati. Dengan demikian, pohon kopi terpelihara dan hutan pun lestari, karena di antara petak-petak kebun kopi ditanam pohon-pohon besar sebagai pohon pelindung. Kelestarian hutan waktu itu juga berkaitan erat dengan hak istimewa bupati untuk berburu di hutan, sehingga rakyat tidak berani mengganggu hutan.
Meskipun perkebunan kopi itu milik pemerintah, tetapi karena yang menanam dan memeliharanya adalah petani, maka hasil panen kopi itu dibeli oleh pemerintah. Pada awal abad ke-19, satu pikul (225 pon atau 112,50 kilogram) kopi dibeli oleh pemerintah dengan harga 10 gulden. Dari penjualan setiap pikul kopi, bupati memperoleh persentase sebesar 1 ringgit (2,50 gulden). Pada waktu yang sama, harga padi di Priangan rata-rata 5 gulden per caéng ringan (620 kilogram). Berarti, dari penjualan satu pikul kopi, petani dapat membeli padi sebanyak 1.240 kilogram padi. Pada waktu itu, produksi kopi dari Bandung khususnya dan Priangan umumnya diekspor ke Amerika. Hal itu berarti, penanaman wajib kopi bukan hanya menguntungkan pemerintah, tetapi jerih payah petani kopi pun mendapat imbalan
yang memadai.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV (1846 – 1874), produksi kopi di daerah Bandung meningkat pesat, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi” di Priangan. Keberhasilan itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV memperoleh “bintang jasa”, yaitu “Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw” dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu ia mendapat julukan “Dalem Bintang” dari masyarakat pribumi. Waktu itu, Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV adalah bupati yang memperoleh persentase penjualan kopi terbesar jumlahnya di antara bupati-bupati lain di Priangan, sehingga waktu itu ia merupakan bupati terkaya di Priangan, mungkin pula di Jawa Barat. Produksi kopi daerah Bandung makin meningkat setelah pemerintah memberlakukan Agrarischewet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870. Sejak tahun 1871 sistem penanaman kopi diubah menjadi sistem penanaman bebas. Pohon-pohon kopi di perkebunan diberikan kepada petani menjadi miliknya. Petani bebas menurut keinginan dan kemampuannya menanam kopi pada lahan garapannya, dan lahan itu bebas pajak. Oleh karena itu, para petani kopi makin semangat mengurus tanaman itu, agar mereka memperoleh hasil panen yang banyak. Memang kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi kopi. Untuk mendorong gairah petani, harga kopi juga ditingkatkan, dari 10 gulden menjadi 13 gulden per pikul. Penanaman kopi di Priangan yang berlangsung sampai dengan awal abad ke- 20, sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pribumi. Sampai-sampai masyarakat Sunda menggunakan istilah “ngopi”, bukan hanya pada minuman kopi, tetapi ditujukan pula pada penganan yang disuguhkan kepada pekerja. Hal itu berlangsung sampai sekarang.
Setelah mengetahui bagaimana manfaat penanaman kopi bagi penghijauan dan pelestarian hutan, serta dampaknya bagi kesejahteraan rakyat, timbul beberapa pertanyaan. Mengapa budaya penamaman kopi yang berlangsung sekian lama, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi”, sekarang musnah tanpa bekas dan pemerintah tidak menaruh perhatian terhadap hal tersebut? Kiranya hal itu sungguh suatu hal yang ironis, karena kesuburan lahan perbukitan dan ketinggian lahan Bandung, realtif tidak berubah. Oleh karena itu, reboisasi hutan di Bandung dengan tanaman kopi, mengapa tidak?
Dengan memahami dan memetik pelajaran dari sejarah, dalam hal ini sistem penanaman kopi di Priangan tempo dulu, khususnya sistem penananam bebas, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi, layak untuk dicoba. Tentu terlebih dahulu Pemkab Bandung menyusun konsep tentang sistem penanaman kopi. Konsep itu mencakup tahap-tahap pelaksanaan berikut kebijakan dan aturan-aturannya.Penyusunan konsep itu tidak hanya melibatkan dinas pertanian dan kehutanan, tetapi sebaiknya melibatkan pula pakar-pakar yang terkait dengan program reboisasi dengan tanaman kopi, termasuk pakar bidang sosial budaya yang memahami bahan atau sumber acauan. Bila perlu, draft konsep itu didiskusikan dalam forum terbatas, agar program tersebut mendapat jaminan untuk dapat dilaksanakan, meskipun dengan dana realtif kecil. Sebelum program dilaksanakan, terlebih dahulu konsep program itu diperkenalkan kepada tokoh-tokoh petani atau mitra tani dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, termasuk kepala desa, karena kepala desa adalah pejabat yang langsung berhubungan dengan rakyat/petani. Pengenalan program itu dimaksudkan untuk mengetahui respon masyarakat, khususnya petani calon pelaksana program. Hal itu sejalan dengan pernyataan atau penegasan Bupati Bandung beberapa waktu yang lalu, bahwa “visi dan misi Pemkab Bandung hanya dapat terwujud bila ada partisipasi masyarakat yang berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan, dan hakekat pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (PR, 22 dan 23 April 2003).
Dengan mencontoh sistem penanaman kopi secara bebas seperti tempo dulu, tentunya dengan memodivikasi hal-hal yang tidak relevan lagi dengan kondisi yang dihadapi sekarang, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan masukkan dana bagi Pemkab Bandung untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Demikian pula, apabila para petani memahami bahwa mereka bukan sekedar objek yang dikuasai, tetapi justru menjadi subjek yang bakal memperoleh keuntungan dari produksi kopi yang mereka tanam dan mereka pelihara, maka reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan kesehateraan bagi para petani. Bila ternyata demikian, hal itu berarti misi Pemkab Bandung yang ketiga, yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dan misi kelima, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah, dapat direalisasikan.
Mudahan-mudahan, urun rembug pemikiran dari seorang warga Bandung ini bermanfaat, setidaknya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melanjutkan program reboisasi. Pemkab Bandung tentu memahami, bahwa masyarakat sangat mengharapkan agar kondisi hutan berangsur-angsur pulih kembali. Bapak Bupati Bandung! Mohon jangan sampai warga masyarakat Bandung selalu bersenandung sendu, “hutanku sayang hutanku malang”.