Sabtu, 22 Juni 2013

Pembenahan Kabupaten Bandung



PEMBENAHAN KABUPATEN BANDUNG
DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

 
A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.


            Tulisan ini dimaksudkan sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung dalam mewujudkan misinya untuk membenahi kondisi kabupaten, tanpa terkandung maksud mapatahan ngojay ka meri (menggurui). Dengan kata lain, tulisan ini sebagai tanda partisipasi dari seorang warga Bandung yang mencintai dan turut memperhatikan masalah Bandung.
            Bupati Bandung H. Obar Sobarna, S. Ip. menegaskan bahwa pembenahan Kabupaten Bandung saat ini didasarkan pada visi pembangunan yang diembannya, yaitu mewujudkan masyarakat Kabupaten Bandung yang repeh, rapih, kertaraharja melalui pembangunan partisipatif berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan (PR, 22 dan 23 April 2003).
            Visi tersebut dituangkan dalam lima misi. Pertama, menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua, menciptakan kondisi yang aman tertib, damai, dan dinamis. Ketiga, memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Keempat, memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia berlandaskan iman dan takwa (imtak). Kelima, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah (PR, 22 April 2003).
            Kelima misi tersebut sungguh merupakan misi yang baik dan ideal. Agar misi itu dapat diwujudkan dengan baik, tentu perlu diperhatikan dan dipahami berbagai masalah dan kondisi yang relevan dan signifikan.
Belajar dari sejarah
            Dalam mewujudkan misi tersebut, masalah dan kondisi yang diperhatikan bukan hanya masalah dan kondisi sekarang, tetapi ada baiknya apabila dipahami pula masalah dan kondisi Kabupaten Bandung di masa lalu yang ada relevansinya dengan misi-misi tersebut. Dengan kata lain, sejarah Kabupaten Bandung yang mencakup waktu lebih dari tiga abad perlu dijadikan sumber acuan.
            Sejarah adalah proses kausalitas yang berkesinambungan. Sejarah Kabupaten Bandung memuat pengalaman-pengalaman penting di masa lampau, khususnya pengalaman dan kinerja bupati dalam mengelola kabupaten, baik bidang pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi. Belajar dari sejarah bukan untuk berutopia mengenai masa lampau. Kesadaran sejarah dalam arti memahami fungsi dan makna peristiwa sejarah merupakan landasan bagi peningkatan sumber daya manusia (hal itu relevan dengan misi keempat).
            Sejarah memiliki fungsi pragmatis. Pengalaman-pengalaman di masa lampau dapat dipetik manfaatnya sebagai acuan dalam menghadapi masalah masa kini dan memprediksi masa yang akan datang. Kajian sejarah itu tidaklah berlebihan. Apabila misi-misi tersebut dihubungkan dengan kondisi yang dihadapi, tersirat adanya aspek sosial budaya yang perlu dipahami latar belakangnya.
            Meniptakan pemerintahan yang baik (misi pertama), sumber dasarnya adalah kepemimpinan. Telah menjadi pemahaman umum bahwa sekarang ini dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di kalangan orang Sunda, cenderung terjadi krisis kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam menciptakan pemerintahan yang baik perlu dipahami kriteria kepemimpinan yang baik. Berdasarkan teori kepemimpinan, inti kepemimpinan bukan pertamatama terletak pada kedudukan, tetapi inti kepemimpinan adalah fungsi dan tugas. Dalam mewujudkan misi pertama itu, ada baiknya apabila dipahami kepemimpinan tempo dulu, khususnya kepemimpinan Sunda.
            Sejarah menunjukkan bahwa raja-raja Sunda, termasuk raja-raja Galuh, pada umumnya menjalankan kepemimpinan yang baik. Hal itu disebabkan kepemimpinan mereka didasarkan pada pedoman kepemimpinan yang dpatuhi. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian antara lain menyebutkan ajaran untuk melangsungkan pemerintahan yang baik. Ajaran itu disebut Sasanakreta (cara menapai kesejahteraan).
            Dalam ajaran itu antara lain dinyatakan, bahwa “siapa (pemerintah/penguasa) yang hendak menegakkan Sasanakreta agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Dengan kata lain, ajaran itu adalah ajaran demokrasi. Naskah Carita Parahyangan antara lain menyebutkan tipe pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi leluhur, menghormati pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan serta menenteramkan rakyat.
            Ajaran dan tipe kepemimpinan tersebut rupanya benar-benar diimplementasikan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh julukan “Siliwangi” terhadap mereka. Raja Sunda yang silih berganti meninggalkan nama wangi (harum) karena kepemimpinannya yang baik.
            Hasil penelitian penulis dalam rangka menulis tesis berjudul Kedudukan dan Peranan Bupati Priangan Pada Abad ke-19 dan disertasi berjudul Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906, menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda diwarisi oleh para bupati Bandung khususnya dan bupati di Priangan umumnya, paling tidak sampai dengan perempat pertama abad ke-20. Di antara para bupati Bandung masa kolonial yang kepemimpinan dan kinerjanya cukup menonjol adalah Bupati R.A. Wiranatakusumah II alias Dalem Kaum (1794-1829), Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874), Bupati R.A. Kusumadilaga (1874-1893), dan Bupati R.A.A. Martanagara (1893-1918).
            Dalam pandangan masyarakat pribumi, Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah “Bapak Pendidiri Kota Bandung”, Bupati R.A. Wiranatakusumah IV adalah “Bapak Pembangunan Bandung”, dan Bupati R.A.A. Martanagara adalah “Bapak Modernisasi Bandung”. Pada masa pemerintahan kedua bupati yang disebut terakhir, kehidupan rakyat Bandung lebih baik dari kehidupan rakyat di kabupaten-kabupaten lain.
            Keberhasilan Bupati R.A. Wiranatakusumah IV memajukan Bandung bukan hanya dirasakan oleh masyarakat pribumi, tetapi diakui pula oleh pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia memperoleh tanda penghargaan dari pemerintah kolonial berupa bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leuw. Itulah sebabnya Bupati R.A. Wiranatakusumah IV mendapat julukan “Dalem Bintang”. Penggantinya, yaitu Bupati R.A. Kusumadilaga berhasil memajukan kehidupan ekonomi rakyat, antara lain melalui koperasi.
            Kepemimpinan dan kinerja para bupati tersebut kiranya layak untuk diteladani, karena keberhasilan mereka justru terjadi di masa penjajahan. Teoretis, di masa kemerdekaan, lebih-lebih dalam program otda (otonomi daerah), Kabupaten Bandung harus lebih maju dari masa sebelumnya. Akan tetapi, perubahan zaman, selain menimbulkan dampak positif, juga mendatangkan dampak negatif yang menghambat pembangunan.
            Bupati Bandung menyatakan, bahwa dalam mewujudkan misinya Pemkab Bandung tidak luput dari berbagai kendala yang dihadapi. Kendala-kendala dimaksud antara lain masalah PKL (pedagang kaki lima), masalah banjir, dan kerusakan hutan akibat perambahan sekelompok manusia. Kendala-kendala tersebut terutama menghambat realisasi misi kedua dan ketiga.
            Dalam upaya mengatasi kendala-kendala itu, hendaknya jangan hanya memperhatikan kondisi yang tampak di permukaan. Dalam rangka mengatasi masalah PKL dan perambahan hutan, perlu dipahami apa yang menjadi akar permasalahannya, karena kedua masalah itu tidak muncul secara tiba-tiba pada masa sekarang, tetapi masalah itu timbul melalui proses. Dalam hal ini, tidaklah berlebihan apabila dilakukan penelitian sosial budaya pada masyarakat Bandung. Penelitian itu dilakukan dengan pendekatan sejarah, untuk mengkaji akar permasalahan atau latar belakang timbulnya maslah, karena suatu peeristiwa atau kasus yang terjadi biasanya memiliki latar belakang.
            Timbulnya banjir pada dasarnya akibat sebagian hutan menjadi gundul oleh ulah manusia, sehingga hutan tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebegai penyerap air hujan. Lahan hutan banyak yang longsor, dan tanah longsorannya menyebabkan aliran sungai menjadi dangkal. Sementara itu, aliran air sungai tidak lancar akibat sungai dijadikan tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu, sekarang banjir di daerah Bandung bukan hanya terjadi di daerah Bandung selatan akibat meluapnya Sungai Citarum, tetapi banjir itu terjadi pula di beberapa daerah lain. Misalnya, di daerah Cicalengka dan Rancaekek, banjir terjadi akibat meluapnya air di beberapa sungai yang melintasi daerah tersebut, yaitu Sungai Cibodas, Cisangkuy, Citarik, Cimande, dan Cijalupang. Banjir luapan air Sungai Cibodas terjadi berulangkali, yaitu tahun 1964, 1992, dan sekarang (PR, 31-01-2003).
            Banjir Sungai Cibodas terjadi akibat penggundulan hutan Gunung Kareumbi. Kondisi itu menunjukkan bahwa hutan yang merupakan salah satu kekayaan alam dan memiliki arti penting bagi kehidupan, tidak dikelola dengan baik. Selain terjadi penebangan liar, terjadi pula perubahan tata guna lahan, dari hutan lindung menjadi lahan pertanian musiman. Sementara itu, reboisasi hutan enderung lambat. Di beberapa tempat, pada lahan perbukitan bukannya dilakukan reboisasi dengan menanam tanaman keras, tetapi yang ditanam malah tembok/beton. Sekarang ini lahan daerah perbukitan banyak dibuka dijadikan komplek perumahan.
            Dalam usaha memelihara lingkungan (misi ketiga), khususnya pemeliharaan hutan dan sungai, ada baiknya apabila diketahui bagaimana hutan dan sungai di Bandung tempo dulu dipelihara. Sejak Kabupaten Bandung berdiri (tahun 1641 menurut versi Pemkab Bandung) sampai beberapa puluh tahun kemudian, kondisi hutan di Bandung dapat dikatakan utuh. Pada waktu itu lahan hutan yang dibuka hanya sebagian dari perbukitan didaerah lndai. Lahan itu digunakan sebagai lahan pertanian dengan sistem huma (ladang).
            Sejak wilayah Priangan dikuasai oleh Kompeni (VOC) mulai tahun 1677, lahan perbukitan/hutan berangsur-angsur dibuka untuk penanaman wajib kopi dalam Sistem Priangan (Preangerstelsel). Penanaman wajib kopi di Priangan, termasuk Bandung, berlangsung sampai dengan dekade kedua abad ke-20. Akan tetapi, pada perkebunan kopi itu juga dilakukan penanaman sistem tumpang sari. Sejak tahun 1870-an, selain perkebunan kopi pemerintah, sebagian hutan dijadikan perkebunan (terutama kina, karet, dan teh) oleh para pengusaha swasta Belanda/Eropa.
            Pada waktu itu di daerah Bandung khususnya tidak terjadi perusakan hutan. Oleh karena itu, banjir di Bandung setiap musim hujan hanya terjadi di daerah Bandung selatan, karena memang daerah itu lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah-daerah Bandung lainnya. Banjir waktu itu terutama terjadi akibat meluapnya Sungai Citarum. Akan tetapi, sungai-sungai lain jarang menimbulkan banjir.
            Berdasarkan kajian sejarah, kondisi itu terjadi karena beberapa faktor. Pertama, hutan di luar daerah perkebunan terpelihara dengan baik karena mendapat perhatian, baik dari pemerintah kabupaten maupun dari pihak kolonial. Bupati besar perhatiannya terhadap kelestarian hutan. Sikap bupati itu berkaitan erat dengan hak istimewa bupati, yaitu hak melakukan perburuan di hutan. Hal istimewa bupati itu menyebabkan adanya hutan yang disebut “leuweung larangan” (hutan tutupan), yaitu hutan yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, karena hutan itu menjadi tempat bupati dan pejabat lain berburu, khususnya berburu rusa.
            Setelah pihak swasta asing (Belanda/Eropa) banyak yang berkiprah dalam usaha perkebunan, pihak perkebunan sewaktu-waktu mengontrol hutan-hutan di sekitar perkebunan. Kegiatan itu dilakukan sebagai antisipasi agar tidak terjadi bencana yang akan merugikan perebunan. Biasanya pengontrolan hutan dilakukan sambil berburu binatang buas (harimau, babi hutan, dll.).
            Kedua, kondisi sungai juga mendapat perhatian. Selain untuk kepeerluan pengairan lahan pertanian dan kehidupan lainnya, perhatian bupati terhadap kelestarian sungai jug berkaitan dengan hak istimewa bupati untuk menagkap ikan di sungai. Oleh karena itu, salah satu kewajiban rakyat dalam pancen diensten (kewajiban rakyat untuk kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati) adalah memelihara sungai. Rakyat tidak dapat seenaknya menangkap ikan di sungai, kecuali bersama bupati, yaitu bila bupati berkeinginan berekreasi dengan cara menangkap ikan di sungai tertentu.
            Pemeliharaan sungai juga dilakukan karena di daerah tertentu, sungai-sungai berfungsi sebagai prasarana transportasi. Sebelum transportasi kereta api beralngsung di Jawa Barat (mulai tahun 1870-an), Sungai Citarum dari Cikao (daerah Purwakarta) sampai pantai Cilincing digunakan sebagai prasarana transportasi kopi yang diangkut dengan perahu. Untuk memperlancar kegiatan itu, di daerah tertentu Sungai Citarum pernah dikeruk. Beberapa sungai lain juga digunakan oleh penduduk sbagai prasarana transportasi. Seingat penulis, di daerah Kawali, pemeliharaan sungai yang dilakukan secara gotong-royong masih berlangsung sampai dengan tahun 1960-an. Pemeliharaan hutan dan sungai tempo dulu yang melibatkan pemimpin atau pejabat, mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan.
Apabila dibandingkan dengan masa sekarang, banjir di Bandung tempo dulu daat dikatakan hampir sepenuhnya merupakan benana alam, tanpa keterlibatan ulah manusia. Di Bandung memang pernah terjadi banjir akibat ulah manusia. Banjir itu antara lain terjadi pada tahun 1917 yang melanda kota Bandung. Hal itu terjadi akibat beberapa daerah resapan air di Bandung utara rusak oleh pembangunan perumahan kelompok elite.
Bencana banjir tersebut segera mendapat perhatian, baik dari pemerintah gemeente dan pemerintah kabupaten, maupun dari tokoh-tokoh pecinta lingkungan. Terbentuklah Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlingan Alam Bandung). Komite itu segera melakukan konservasi daerah Dago Atas dengan menjadikan daerah itu sebagai Soenda Openlucht Museum (Museum Terbuka Alam Sunda). Tindakan tersebut dimaksudkan untuk memelihara kawasan hutan di daerah Bandung utara berikut kandungan airnya.
Sumber-sumber sejarah Bandung yang penulis peroleh, tidak ada yang menyebutkan banjir di Bandung tempo dulu mengakibatkan kerugian besar bagi penduduk. Belum ditemukan data yang menyatakan adanya korban jiwa manusia akibat banjir waktu itu. Boleh jadi hal tersebut disebabkan oleh kesigapan pemerintah, baik pemerintah pribumi maupun pemerintah kolonial mengantisipasi bahaya banjir.
Dulu, hutan dan sungai di Bandung benar-benar merpakan faktor dasar penunjang potensi ekonomi, baik ekonomi perkebunan maupun ekonomi pertanian. Oleh karena itu, gerakan “Citarum Bergetar” (bersih, geulis, dan lestari) hendaknya tidak hanya dilakukan di daerah aliran Citarum, tetapi dilakukan pula di daerah aliran sungai lain, terutama di daerah sungai-sungai yang menimbulkan banjir.
Kegiatan penghijauan atau reboisasi hutan perlu disertai oleh penyosialan keppres tentang penebangan liar. Sementara itu, kiranya perlu dipertimbangankan penghijauan dengan penanaman kembali kopi, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan potensi ekonomi (misi kelima). Sejarah menunjukkan, selama berlangsungnya penanaman kopi di Priangan (perempat terakhir abad ke-17 sampai dengan dekade kedua abad ke-20), Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan. Faktor dasarnya adalah kesuburan tanah dan ketinggian daerah perbukitan. Bandung sangat cocok untuk tanaman kopi. Sekarang pun kondisi dan potensi lahan itu relatif tidak berubah.
Lahan daerah Bandung juga sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman padi, ketela pohon, dll. Pada akhir abad ke-19, Bandung merupakan daerah surplus padi, sehingga sebagian besar padi/beras dari Bandung dijual ke Jakarta (Batavia) dan Jawa Tengah. Sangat disayangkan, sekarang banyak areal persawahan yang baik menjadi hilang akibat pembangunan fisik. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan pula penggalaan penanaman ketela pohon, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Martanagara (1893-1918). Pada waktu itu, sebagian besar produksi tapioka dari Bandung diekspor ke Eropa. Sampai dengan dekade pertama abad ke-20, Bandung juga merupakan produsen kina terbesar di dunia.
Aabila dulu Kabupaten Bandung memiliki potensi unggulan produksi kopi, kina, dan tapioka, mengapa sekarang tidak? Pada tempatnyalah apabila hal itu menjadi bahan renungan dan kajian. Kajian hendaknya dilakukan pula terhadap kondisi sosial budaya masyarakat, antara lain untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar partisipasi masyarakat terhadap upaya pembenahan Kabuaten Bandung. Kajian itu penting, karena visi dan misi Pemkab Bandung – seperti ditegaskan oleh Bupati Bandung – hanya dapat terwujud bila ada partisipasi masyarakat yang berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan, dan hakikat pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berhasil atau tidaknya pembenahan itu, pada dasarnya akan tergantung dari sikap kedua belah pihak (menyangkut misi keempat). Pada satu sisi, tergantung dari sikap pemimpin dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Pada sisi lain, tergantung pada sikap masyarakat dalam mencintai daerahnya dan memenuhi kewajiban mereka selaku warga negara yang baik.


Penulis: Sejarawan Fakultas Sastra Unpad/Anggota Pengurus Pusat Studi Sunda.
Catatan: Dimuat dalam PR, 21 Mei 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar