CIAMIS KEMBALIKAN LAGI
KE GALUH+
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra*
Latar Belakang
Menurut
naskah/babad berjudul Wawacan Sajarah
Galuh, di Tatar Sunda, kata/nama “galuh“ sudah digunakan sejak zaman
prasejarah yang ditujukan pada nama ratu, yakni Ratu Galuh yang mendirikan
negara/kerajaan di daerah Lakbok dengan nama Bojonggaluh, daerah pertemuan
sungai Cimuntur dan Citanduy.
Perlu
dikemukakan, bahwa cerita tentang Ratu Galuh bukan sejarah, melainkan cerita
mitos, karena tidak jelas sumbernya, sehingga tidak menyebut waktu peritiwa
yang jelas pula. Cerita itu menyebar luas di masyarakat, khususnya masyarakat
di Tatar Sunda. Hal itu pada satu sisi menyebabkan kata/nama “galuh“ sudah
dikenal oleh masyarakat sejak lama. Pada sisi lain, kata/nama “galuh“ dianggap mengandung daya magis.
Nama ”Galuh” muncul dalam
panggung sejarah sejak berdirinya Kerajaan
Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh Sunda bernama Wretikandayun
pada awal abad ke-7 M. Semula Wretikandayun berkuasa di daerah Kendan (daerah
perbukitan di Nagreg sekarang). Daerah Kendan semula termasuk wilayah kekuasaan
Kerajaan Tarumanagara. Sejak awal abad ke-7 pamor kerajaan itu makin lama makin
pudar, terutama masa pemerintahan Raja Tarusbawa (raja Tarumanagara terakhir,
669-670 M.), Kondisi itu dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan
Kendan dari kekuasaan Tarumanagara. Upaya Wretikandayun berhasil
tanpa menimbulkan konflik dengan penguasa Tarumanagara. Oleh karena Kendan
tidak memadai sebagai pusat pemerintahan, maka Wretikandayun memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah Karangkamulyan sekarang. Daerah itu dibangun menjadi
pusat Kerajaan Galuh. Sementara itu, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda
sebagai kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.
Kemudian
terjadi perundingan antara Wretikandayun dengan Tarusbawa mengenai wilayah
kekuasaan masing-masing. Perundingan sampai pada kesepakatan, bahwa sungai
Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan. Daerah sebelah barat Citarum
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, dan daerah sebelah timur Citarum
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh.
Ketika Kerajaan Galuh diperintah oleh
Sanjaya (723-732 M.), sang raja menjadi menantu Raja Sunda Tarusbawa. Hal itu
menyebabkan terjadinya penggabungan kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh,
sehingga Kerajaan Galuh makin berkembang, bahkan Galuh menjadi pusat budaya
Sunda. Pada abad ke-13, Kerajaan Galuh berpusat di Kawali yang dibuktikan oleh
adanya Prasasti Kawali di Astana Gede Kawali. Kerajaan Galuh mencapai kejayaan
terutama pada masa pemerintahan Maharaja Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M.)
Pada
akhir abad ke-16 M. Kerajaan Mataram berupaya untuk menguasai Kerajaan Galuh.
Terjadi konflik antara kedua belah pihak, sehingga di beberapa daerah Galuh
terjadi tragedi “banjir darah”. Tahun
1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram.
Pada
awal pemerintahan Sultan Agung sebagai raja Mataram (1613), status Kerajaan
Galuh diubah oleh penguasa Mataram menjadi setingkat dengan kabupaten. Hal itu
ditandai oleh pengangkatan Adipati Panaekan menjadi Wedana Mataram di Galuh
(wedana vazal Mataram). Pada zaman kerajaan di Indonesia, pangkat wedana setingkat
dengan bupati zaman penjajahan Belanda. Dengan kata lain, sejak awal abad ke-17
itulah, Galuh menjadi kabupaten dengan bupati pertama Adipati Panaekan.
Kabupaten
Galuh pernah mengalami perpindahan ibukota beberapa kali, yaitu dari Panaekan
ke Gara Tengah (Cineam), kemudian pindah lagi ke Barunay (Imbanagara).
Pemindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay terjadi tanggal
12 Juni 1642 M.[1]) (14 Mulud tahun Hé). Ketika
Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni (mulai akhir tahun 1705), terjadi lagi tragedi berdarah di Ciancang (Utama)
tahun 1739 yang dikenal dengan sebutan ”Bedah Ciancang”.
Pada awal abad ke-19 ibukota
Kabupaten Galuh dipindahkan lagi ke Cibatu, kemudian ke Burung Diuk. Setelah
kota Ciamis berdiri, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke kota Ciamis (masa
pemerintahan Bupati Wiradikusumah, 1815-1819). Tahun 1916, Bupati R.A.A.
Sastrawinata (1914-1936), mengganti nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis[2]).
Pergantian nama Galuh menjadi Ciamis hanya didasarkan pada alasan pribadi
Bupati Sastrawinata. Ia tidak mau dianggap keturunan bupati Galuh, karena ia
adalah keturunan langsung bupati Karawang[3]).
Paparan
di atas mengenai Kerajaan Galuh yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Galuh –
meskipun secara garis besar – menunjukkan bahwa Galuh digunakan sebagai nama
pemerintahan dan wilayah berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (awal abad
ke-17 hingga awal abad ke-20). Oleh karena itu, tidak heran bila nama Galuh
terpatri secara kuat dalam hati/pikiran orang Galuh ampai sekarang.
Alasan
Pengembalian Nama Galuh
1) Arti dan Makna Galuh
Kata
”galuh” dalam bahasa Sansekerta
memiliki dua pengertian. Pertama, salah satu jenis permata. Kedua,
dalam lingkungan kerajaan (di Indonesia), nama “Galuh” biasa ditujukan pada
putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
Dalam
kehidupan masyarakat Sunda, kata ”galuh”
memiliki arti yang sama dengan ”galeuh”,
yaitu bagian tengah (inti) pohoh/kayu berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan
galeuh yang berarti beli. Kata ”galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (kolbu), sehingga ada ungkapan
dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galihi”
(“Galuh intinya hati”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa nama/kata ”galuh”
memiliki makna filosofis.
Uraian
latar belakang menunjukkan bahwa nama Galuh memiliki nilai historis tinggi,
karena nama itu digunakan sebagai nama pemerintahan (kerajaan dan kabupaten)
berikut wilayahnya dalam kurun waktu sangat lama. Eksistensi kerajaan dan
kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat yang merupakan
budaya Galuh.
Kondisi
itu mendorong Prabu Haurkuning – keturunan raja Galuh -- menciptakan ilmu
bersifat falsafah yang disebut ”Elmu Kagaluhan Haurkuning”. Inti
ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam kehidupan manusia.
”Hirup
kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih
baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé
jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.
(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh
kasih-mengasihi. Namun tidak cukup semikian, tetapi harus disertai pula oleh
budi pekerti yang baik. Harus
dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jelek. Orang berbudi baik,
namanya akan ”harum”).
Pada
Prasasti Kawali I ada kalimat penutup yang berbunyi:
”Pakéna
gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana”
Kalimat itu merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan
yang berupa amanat leluhur Galuh, karena arti kalimat itu adalah ”harus
membiasakan berbuat/melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya di dunia”.
Kiranya atas dasar itulah, maka kalimat penurup prasasti tersebut digunakan
menjadi motto Pemda Kabupaten Ciamis.
Simpulan
dari uraian tersebut adalah nama/kata Galuh memiliki arti yang baik, bernilai
historis tinggi, memiliki makna filosofis, dan dianggap mengandung daya magis.
Bagaimana halnya dengan nama Ciamis?
2) Nama Ciamis
Nama
Ciamis juga bernilai historis, karena sejak awal abad ke-20 sampai sekarang
digunakan sebagai nama kabupaten. Namun nama/kata Ciamis tidak memiliki arti
dan makna yang jelas dan dalam seperti nama/kata Galuh.
Secara etimologis, kata Ciamis berasal
dari ”ci” dan ”amis”. Kata “ci”
singkatan dari cai yang berarti air. Di
Tatar Sunda kata itu memang banyak atau lazim digunakan sebagai bagian
depan/awal nama tempat. Namun, kata ”amis”
dalam Ciamis, bukan ”amis” dalam
bahasa Sunda yang berarti rasa manis. Sumber tradisional yang memuat data
Kerajaan Galuh menunjukkan bahwa ”amis”
dalam nama Ciamis adalah ”amis” dalam
bahasa Jawa yang berarti ”anyir”.
Sebutan ”anyir” itu berkaitan dengan tragedi di daerah Galuh – seperti telah
disebutkan – yang mengakibatkkan ”banjir darah”. Tegasnya, ”amis” yang dimaksud adalah bau amis
darah manusia, korban dalam tragedi. Katanya, sebutan ”amis” yang ditujukan pada darah manusia itu dilontarkan oleh wakil
penguasa Mataram ketika mengontrol daerah Galuh tidak lama setelah di Galuh
terjadi tragedi ”banjir darah”. Berarti sebutan ”ciamis” pada awalnya merupakan cemoohan dari orang Jawa pihak
Mataram. Informasi itu beralasan untuk dipercaya, karena bila kata ”ciamis” dimunculkan oleh Sunda, tentu ”amis” dalam kata itu berari rasa manis
atau amis yang bermakna baik. Misal,
ungkapan ”amis budi”, ”adu manis” dan lain-lain.
Apakah nama Ciamis yang mengandung cemoohan/ejekan
itu akan terus dipertahankan?
Sampai saat, saya belum
menemukan sumber akurat yang memuat penjelasan lain mengenai pengertian nama/kata
Ciamis. Demikian pula tujuan penggantian nama Galuh menjadi Ciamis, tidak
jelas. Seperti telah dikemukakan, nama Galuh diganti menjadi Ciamis oleh Bupati
Sastrawinata. Alasannya, ia tidak mau dianggap keturunan bupati Galuh, karena
ia adalah keturunan langsung bupati Karawang. Padahal ia masih keturunan bupati
Galuh. Dengan demikian, alasan Bupati Sastrawinata menganti nama Galuh menjadi
Ciamis adalah alasan yang tidak tepat.
Mengapa nama Ciamis terus
digunakan? Dari perspektif sejarah, hal itu terjadi karena masyarakat kita
umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Mayarakat awam umumnya mengartikan
atau memahami sejarah sama dengan dongeng.
3) Nama Galuh Dalam Kehidupan Masyarakat
Telah disebutkan bahwa nama
Galuh terpatri (nyantél) secara kuat
dalam hati/pikiran orang Galuh ampai sekarang. Disadari atau tidak, hal itu
disebabkan oleh nilai dan makna yang dimiliki oleh kata Galuh, yaitu nilai
historis yang tinggi, makna filosofos yang dalam, dan daya magis.
Bahwa
nama Galuh sudah demikian terpatri dalam hati dan pikiran orang Galuh,
ditunjukan oleh pemakaian kata Galuh menjadi nama lembaga,
organisasi/perkumpulan, nama perusahaan, dan lain-lain.
Contoh antara lain:
Tokoh-tokoh
yang masih merupakan keturunan Bupati Galuh tempo dulu membentuk perkumpulan
dengan nama Paguyuban Rundayan Galuh Pakuan.
Sejumlah
tokoh masyarakat Tatar Galuh mendirikan perguruan tinggi dengan nama
Universitas Galuh.
Mahasiswa
asal Galuh menamakan perkumpuplannya ”Galuh Taruna”.
Mahasiswa
asal Galuh yang studi di Yogyakarta tinggal di Asrama Mahasiswa Galuh.
Orang-orang
Galuh di perantauan membentuk organisasi dengan nama ”Wargi Galuh” di Bandung, Paguyuban
Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Rahayu di Yogyakarta, Galuh Pamitran di
Purwokerto, dengan pusat di Bandung, sehingga organisasi di Bandung disebut
”Wargi Galuh Puseur”.
Stadion
olah raga diberi nama Stadion Galuh.
Di
beberapa tempat, Galuh dijadikan nama kegiatan usaha skala besar dan kescil,
seperti PT Pratama Galuh Perkasa, Toko Galuh, Bengkel Motor Galuh, dan lain-lain.
Pemda
Ciamis sendiri nenamakan wilayahnya dengan sebutan Tatar Galuh. Sebutan ini
antara lain ditulis pada spanduk yang dipasang pada jembatan besi di daerah
perbatasaan dengan Tasikmalaya. Tulisan itu berbunyi ”Selamat Datang di Tatar
Galuh”.
Tanggal
18 Juli 2010 berlangsung peresmian berdirinya museum dengan nama Museum Galuh
Pakuan.
Contoh tersebut menunjukkan
bahwa orang Galuh pada dasanya lebih senang menggunakan nama Galuh daripada
nama Ciamis. Dengan kata lain, penggunaan nama Galuh diterima oleh masyarakat. Pada
sisi lain, hal itu mencerminkan bahwa orang pituin
(asli) Galuh berupaya untuk memelihara jati diri, sehingga nama Galuh dijadikan
identitas dirinya.
Mengapa
Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak/kurang tanggap terhadap kondisi tersebut?
4) Aspirasi Masyarakat
Contoh
penggunaan nama Galuh dalam kehidupan masyarakat, secara tersirat mencerminkan
aspirasi masyarakat akan digunakannya kembali nama Galuh secara resmi di bidang
pemerintahan. Kondisi itu telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat akan
tersebut secara tersurat. Tahun 1998 sejumlah tokoh masyarakat diwakili oleh
Didi Ruswendi menggulirkan wacana penggantian nama Ciamis kembali menjadi
Galuh. Bulan Juni tahun 2000 majalah Manglé
memuat tulisan Achmad Dase berjudul ”Ciamis Rawuh ka Galuh”. Selaku sejarawan pituin Galuh, penulis pun menyampaikan
pemikiran yang sama dalam bentuk tulisan berjudul ”Ciamis Pulangkeun Deui ka Galuh”,
dimuat dalam tabloid Galura (November
2003 dan majalah Cupumanik (Maret
2004).
Gagasan
mengenai pengembalian nama Ciamis ke Galuh mencuat lagi dalam acara peresmian
berdirinya Museum Galuh Pakuan di Kompleks Makam Jambansari tanggal 18 Juli
2010. Gagasan itu disambut baik dalam arti disetujui oleh Wakil Gubernur Jawa
Barat Dede M. Yusuf.
Setelah
gagasan itu diekspos dalam media massa, timbul sikap pro-kontra di kalangan
masyarakat. Pihak yang kontra terhadap gagasan itu, alasan utamanya hanya mengenai
kerugian yang bakal terjadi, yaitu penggantian kop surat, papan nama
lembaga-lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, dan hal tertentu menyangkut
urusan admininistrasi. Dari kalangan yang kontra, ada yang mempertanyakan,
apakah penggantian nama itu akan berdampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat? Rupanya pihak yang kontra tidak mengetahui bahwa perubahan nama
daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2,
Tentang Pemerintah Daerah. Pasal itu antara menyatakan:
”..... perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan
daerah yang bersangkutan”.
Berdasarkan undang-undang itulah, nama Ujung
Pandang kembali menjadi Makasar dan Irian kembali menjadi Papua.
Dalam
kenyataan di lapangan, ternyata warga masyarakat yang pro terhadap penggantian
nama Ciamis kembali menjadi Galuh lebih banyak daripada yang kontra. Hal ini antara lain diberitakan dalam
koran Pikiran Rakyat 20 Juli 2010.
Dalam internet pun bermunculan tulisan-tulisan yang intinya menyetujui gagasan
tersebut. Hal itu menunjukkan aspirasi mayoritas warga masyarakat akan
pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh.
PENUTUP
Bila
nilai dan makna Galuh dipahami secara seksama dan dibandingkan dengan asal-usul
nama Ciamis, gagasan atau harapan dikembalikannya nama Ciamis menjadi Galuh,
bukan primordialisme dan bukan pula subyektif kesukuan. Secara umum,
pengembalian nama itu diharapkan dapat membangkitkan ”semangat kagaluhan”, semangat untuk mempererat persatuan dan
kesatuan warga Galuh, sehingga segala potensi Galuh menunjang pengembangan
Tatar Galuh dan masyarakatnya. Hal itu kiranya sejalan dengan kebanggaan warga
masyarakat umumnya akan pamor nama Galuh.
Oleh
karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, seyogyanya DPRD
Kabupaten Ciamis menyambut baik (menyetujui) aspirasi mayoritas warga untuk
mengganti nama Ciamis kembali menjadi Galuh. Digunakannya kembali nama Galuh, diharapkan
budaya Galuh pun akan ”bersinar” kembali.
Dalam
konteks tersebut, saya pikir tidak berlebihan, bahkan pada tempatnyalah apabila
Unigal berperan sebagai garda paling depan dalam memperjuangkan aspirasi
masyarakat, karena Unigal adalah ”milik” masyarakat. Unigal pula yang sebaiknya
mengolah usulan pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh, karena usulan itu harus
bermuatan ilmiah, selain bersifat rasional, karena Unigal memiliki program
studi sejarah, hukum, dan politik. Disiplin ilmu-ilmu itu diperlukan untuk
melandasi usulan tersebut. Dalam prakteknya, tentu pihak Unigal harus
bekerjasama/ mengikutsertakan wakil-wakil tokoh masyarakat dari berbagai
kalangan.
Bila
Unigal berhasil memainkan peranan sebagai garda paling depan dalam upaya
pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh, kiranya pamor Unigal akan makin
bersinar seperti Galuh dalam arti permata, sehingga Unigal makin dicintai oleh
masyarakat. Semoga!
SUMBER ACUAN
Anonim. 2010.
”Dukungan Perubahan Nama
Semakin Luas”. Pikiran Rakyat, 20
Juli 2010.
--------. 2010.
”Wacana Kab. Ciamis Jadi Kab. Galuh; Dukungan
Perubahan Semakin Luas”. PRLM, 20
Juli 2010. http://islam-kucinta.blogspot.com.
Posted by Admin.
Dase, Achmad. 2000.
”Ciamis Rawuh Ka Galuh”. Mangle, No, 1765, 15 Juni 2000.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2003.
Sejarah
Galuh Abad ke-7 s.d. Pertengahan Abad ke-20. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
--------. 2003
”Ciamis Pulangkeun Deui Ka
Galuh”. Galura, November 2003.
--------. 2004.
Semangat
Kegaluhan Dan Maknanya Dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Mustafid. 2010.
”Wagub Setuju Perubahan Nama Kab. Ciamis Menjadi
Galuh”. Tribun, 19 Juli 2010.
--------. 2010.
”Semangat Kegaluhan di Perantauan; Galuh Sebagai
Identitas Diri”. http://priangan-online.com, 22 Juli
2020.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A.
Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya Gidup Bupati-Bupati Galuh
1839-1914. Yogyakarta:
Ombak.
+ Makalah dalam seminar sehari di Kampus Unigal, 18
Mei 2012.
* Guru Besar Ilmu Sejarah, Unpad dan Unigal.
[1]) Berarti tanggal 12 Juni 1642 bukan Hari Jadi
Kabupaten Ciamis dan bukan pula Hari Jadi Kabupaten Galuh.
[3]) Rupanya Bupati Sastrawinata tidak mengetahui,
bahwa Adipati Singaperbangsa I bupati Karawang pertama adalah keturunan bupati
Galuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar