REBOISASI DENGAN KOPI MENGAPA TIDAK?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra
A. Sobana Hardjasaputra
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagian
besar hutan di Jawa Barat, termasuk di daerah Kabupaten Bandung, sekarang ini
dalam keadaan rusak akibat ulah sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab.
Kerusakan hutan menyebabkan tanah longsor dan banjir besar di musim hujan.
Selain mengakibatkan tanaman pertanian rusak, tanah longsor dan banjir itu
kadang-kadang merenggut jiwa manusia.
Dalam menanggulangi kerusakan hutan, Pemkab
Bandung membuat program reboisasi, dan program itu telah dilaksanakan dengan
menanam tanaman buahbuahan (advokat, durian, kesemek, dan lain-lain). Akan
tetapi, pelaksanaan program reboisasi itu tidak ditunjang oleh biaya pemeliharaan,
dan diikuti oleh pengelolaan yang berkelanjutan. Akibatnya, program itu menjadi
tidak efektip. Bibit tanaman menjadi rusak, karena tidak diurus, bahkan terjadi
pencabutan bibit tanaman oleh oknum perambah hutan. Hal itu dinyatakan oleh
Yeyet Sukayat, Wakil Ketua Gerakan Pramuka Tingkat Kabupaten Bandung Bidang
Penghijauan beberapa waktu yang lalu. Hal senada juga dikatakan oleh Didin
Rosidin, Sekretaris Eksekutif Forum Peduli Citarum (FPC). Bibit tanaman
buah-buahan sebanyak 30.000 pohon yang ditanam oleh Gerakan Pramuka di 43
kecamatan di Kabupaten Bandung, 70 persen di antaranya rusak (PR, 19 Maret
2004)
Mengapa kopi?
Dalam upaya mengganti tanaman reboisasi yang rusak
itu, ada baiknya apabila Pemkab Bandung mempertimbangkan tanaman kopi sebagai tanaman
reboisasi utama. Mengapa kopi? Sejarah Priangan menunjukkan bahwa sejak akhir abad
ke-18, daerah Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan. Setelah daerah
Priangan dikuasai oleh Kompeni (sejak tahun 1677), Kompeni memberlakukan penanaman
wajib di Priangan, terutama kopi, dalam sistem yang disebut Preangerstelsel
(Sistem Priangan). Penanaman wajib kopi di Priangan mulai dirintis tahun 1707.
Tahun 1789 perkebunan kopi di daerah perbukitan Bandung berhasil dengan baik.
Menurut ilmu pertanian, memang daerah perbukitan Bandung, baik kesuburan tanah
maupun ketinggiannya dari permukaan laut (dpl), sangat cocok untuk menanam
kopi.
Penanaman kopi di Priangan dengan Bandung sebagai
pusatnya, dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada dekade pertama abd
ke-19, pohon kopi tua di daerah Bandung hampir mencapai jumlah 3 juta pohon.
Penanaman dan pemeliharaan pohon kopi itu dikoordinir oleh pejabat pemerintah
kabupaten di bawah pimpinan bupati. Dengan demikian, pohon kopi terpelihara dan
hutan pun lestari, karena di antara petak-petak kebun kopi ditanam pohon-pohon
besar sebagai pohon pelindung. Kelestarian hutan waktu itu juga berkaitan erat
dengan hak istimewa bupati untuk berburu di hutan, sehingga rakyat tidak berani
mengganggu hutan.
Meskipun perkebunan kopi itu milik pemerintah,
tetapi karena yang menanam dan memeliharanya adalah petani, maka hasil panen
kopi itu dibeli oleh pemerintah. Pada awal abad ke-19, satu pikul (225 pon atau
112,50 kilogram) kopi dibeli oleh pemerintah dengan harga 10 gulden. Dari
penjualan setiap pikul kopi, bupati memperoleh persentase sebesar 1 ringgit
(2,50 gulden). Pada waktu yang sama, harga padi di Priangan rata-rata 5 gulden
per caƩng ringan (620 kilogram). Berarti, dari penjualan satu pikul kopi,
petani dapat membeli padi sebanyak 1.240 kilogram padi. Pada waktu itu,
produksi kopi dari Bandung khususnya dan Priangan umumnya diekspor ke Amerika.
Hal itu berarti, penanaman wajib kopi bukan hanya menguntungkan pemerintah,
tetapi jerih payah petani kopi pun mendapat imbalan
yang memadai.
yang memadai.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A.
Wiranatakusumah IV (1846 – 1874), produksi kopi di daerah Bandung meningkat
pesat, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi” di Priangan. Keberhasilan itu
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV
memperoleh “bintang jasa”, yaitu “Ridder in de Orde van den Nederlandschen
Leeuw” dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu ia mendapat julukan “Dalem
Bintang” dari masyarakat pribumi. Waktu itu, Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV
adalah bupati yang memperoleh persentase penjualan kopi terbesar jumlahnya di
antara bupati-bupati lain di Priangan, sehingga waktu itu ia merupakan bupati
terkaya di Priangan, mungkin pula di Jawa Barat. Produksi kopi daerah Bandung
makin meningkat setelah pemerintah memberlakukan Agrarischewet (Undang-Undang
Agraria) tahun 1870. Sejak tahun 1871 sistem penanaman kopi diubah menjadi
sistem penanaman bebas. Pohon-pohon
kopi di perkebunan diberikan kepada petani menjadi miliknya. Petani bebas
menurut keinginan dan kemampuannya menanam kopi pada lahan garapannya, dan
lahan itu bebas pajak. Oleh karena itu, para petani kopi makin semangat
mengurus tanaman itu, agar mereka memperoleh hasil panen yang banyak. Memang
kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi kopi. Untuk
mendorong gairah petani, harga kopi juga ditingkatkan, dari 10 gulden menjadi
13 gulden per pikul. Penanaman kopi di Priangan yang berlangsung sampai dengan
awal abad ke- 20, sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pribumi. Sampai-sampai
masyarakat Sunda menggunakan istilah “ngopi”, bukan hanya pada minuman kopi, tetapi
ditujukan pula pada penganan yang disuguhkan kepada pekerja. Hal itu berlangsung
sampai sekarang.
Setelah mengetahui bagaimana manfaat penanaman
kopi bagi penghijauan dan pelestarian hutan, serta dampaknya bagi kesejahteraan
rakyat, timbul beberapa pertanyaan. Mengapa budaya penamaman kopi yang
berlangsung sekian lama, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi”, sekarang
musnah tanpa bekas dan pemerintah tidak menaruh perhatian terhadap hal
tersebut? Kiranya hal itu sungguh suatu hal yang ironis, karena kesuburan lahan
perbukitan dan ketinggian lahan Bandung, realtif tidak berubah. Oleh karena itu, reboisasi hutan di
Bandung dengan tanaman kopi, mengapa tidak?
Dengan memahami dan memetik pelajaran dari
sejarah, dalam hal ini sistem penanaman kopi di Priangan tempo dulu, khususnya
sistem penananam bebas, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi, layak untuk
dicoba. Tentu terlebih dahulu Pemkab Bandung menyusun konsep tentang sistem
penanaman kopi. Konsep itu mencakup tahap-tahap pelaksanaan berikut kebijakan
dan aturan-aturannya.Penyusunan konsep itu tidak hanya melibatkan dinas
pertanian dan kehutanan, tetapi sebaiknya melibatkan pula pakar-pakar yang
terkait dengan program reboisasi dengan tanaman kopi, termasuk pakar bidang
sosial budaya yang memahami bahan atau sumber acauan. Bila perlu, draft konsep
itu didiskusikan dalam forum terbatas, agar program tersebut mendapat jaminan
untuk dapat dilaksanakan, meskipun dengan dana realtif kecil. Sebelum program
dilaksanakan, terlebih dahulu konsep program itu diperkenalkan kepada
tokoh-tokoh petani atau mitra tani dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu,
termasuk kepala desa, karena kepala desa adalah pejabat yang langsung berhubungan
dengan rakyat/petani. Pengenalan program itu dimaksudkan untuk mengetahui
respon masyarakat, khususnya petani calon pelaksana program. Hal itu sejalan
dengan pernyataan atau penegasan Bupati Bandung beberapa waktu yang lalu, bahwa
“visi dan misi Pemkab Bandung hanya dapat terwujud bila ada partisipasi
masyarakat yang berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan, dan
hakekat pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (PR, 22 dan
23 April 2003).
Dengan mencontoh sistem penanaman kopi secara
bebas seperti tempo dulu, tentunya dengan memodivikasi hal-hal yang tidak
relevan lagi dengan kondisi yang dihadapi sekarang, kiranya reboisasi dengan
tanaman kopi akan mendatangkan masukkan dana bagi Pemkab Bandung untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Demikian pula, apabila para petani memahami bahwa
mereka bukan sekedar objek yang dikuasai, tetapi justru menjadi subjek yang
bakal memperoleh keuntungan dari produksi kopi yang mereka tanam dan mereka
pelihara, maka reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan kesehateraan
bagi para petani. Bila ternyata demikian, hal itu berarti misi Pemkab Bandung
yang ketiga, yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan, dan misi kelima, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pembangunan potensi ekonomi daerah, dapat direalisasikan.
Mudahan-mudahan, urun rembug pemikiran dari
seorang warga Bandung ini bermanfaat, setidaknya sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam melanjutkan program reboisasi. Pemkab Bandung tentu
memahami, bahwa masyarakat sangat mengharapkan agar kondisi hutan
berangsur-angsur pulih kembali. Bapak Bupati Bandung! Mohon jangan sampai warga
masyarakat Bandung selalu bersenandung sendu, “hutanku sayang hutanku malang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar