PEMBENAHAN KABUPATEN BANDUNG
DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Tulisan
ini dimaksudkan sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung dalam mewujudkan
misinya untuk membenahi kondisi kabupaten, tanpa terkandung maksud mapatahan ngojay ka meri (menggurui).
Dengan kata lain, tulisan ini sebagai tanda partisipasi dari seorang warga Bandung yang mencintai dan turut memperhatikan masalah Bandung.
Bupati Bandung H. Obar Sobarna, S. Ip. menegaskan
bahwa pembenahan Kabupaten Bandung saat ini didasarkan pada visi pembangunan
yang diembannya, yaitu mewujudkan masyarakat Kabupaten Bandung yang repeh, rapih, kertaraharja melalui
pembangunan partisipatif berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan
(PR, 22 dan 23 April 2003).
Visi tersebut dituangkan dalam lima misi. Pertama, menciptakan pemerintahan
yang baik dan bersih. Kedua, menciptakan kondisi yang aman tertib, damai, dan
dinamis. Ketiga, memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan. Keempat, memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia berlandaskan iman dan takwa (imtak). Kelima, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah (PR, 22 April 2003).
Kelima misi tersebut sungguh merupakan
misi yang baik dan ideal. Agar misi itu dapat diwujudkan dengan baik, tentu
perlu diperhatikan dan dipahami berbagai masalah dan kondisi yang relevan dan
signifikan.
Belajar dari sejarah
Dalam mewujudkan misi tersebut,
masalah dan kondisi yang diperhatikan bukan hanya masalah dan kondisi sekarang,
tetapi ada baiknya apabila dipahami pula masalah dan kondisi Kabupaten Bandung
di masa lalu yang ada relevansinya dengan misi-misi tersebut. Dengan kata lain,
sejarah Kabupaten Bandung yang mencakup waktu lebih dari tiga abad perlu
dijadikan sumber acuan.
Sejarah adalah proses kausalitas
yang berkesinambungan. Sejarah Kabupaten Bandung memuat pengalaman-pengalaman
penting di masa lampau, khususnya pengalaman dan kinerja bupati dalam mengelola
kabupaten, baik bidang pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi. Belajar dari
sejarah bukan untuk berutopia mengenai masa lampau. Kesadaran sejarah dalam
arti memahami fungsi dan makna peristiwa sejarah merupakan landasan bagi
peningkatan sumber daya manusia (hal itu relevan dengan misi keempat).
Sejarah memiliki fungsi pragmatis.
Pengalaman-pengalaman di masa lampau dapat dipetik manfaatnya sebagai acuan
dalam menghadapi masalah masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
Kajian sejarah itu tidaklah berlebihan. Apabila misi-misi tersebut dihubungkan
dengan kondisi yang dihadapi, tersirat adanya aspek sosial budaya yang perlu
dipahami latar belakangnya.
Meniptakan pemerintahan yang baik
(misi pertama), sumber dasarnya adalah kepemimpinan. Telah menjadi pemahaman
umum bahwa sekarang ini dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di kalangan
orang Sunda, cenderung terjadi krisis kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam
menciptakan pemerintahan yang baik perlu dipahami kriteria kepemimpinan yang
baik. Berdasarkan teori kepemimpinan, inti kepemimpinan bukan pertamatama
terletak pada kedudukan, tetapi inti kepemimpinan adalah fungsi dan tugas.
Dalam mewujudkan misi pertama itu, ada baiknya apabila dipahami kepemimpinan
tempo dulu, khususnya kepemimpinan Sunda.
Sejarah menunjukkan bahwa raja-raja
Sunda, termasuk raja-raja Galuh, pada umumnya menjalankan kepemimpinan yang
baik. Hal itu disebabkan kepemimpinan mereka didasarkan pada pedoman
kepemimpinan yang dpatuhi. Naskah Sanghyang
Siksa Kandang Karesian antara lain menyebutkan ajaran untuk melangsungkan
pemerintahan yang baik. Ajaran itu disebut Sasanakreta
(cara menapai kesejahteraan).
Dalam ajaran itu antara lain
dinyatakan, bahwa “siapa (pemerintah/penguasa) yang hendak menegakkan Sasanakreta agar dapat lama hidup, lama
berjaya, ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang,
sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Dengan kata lain, ajaran itu
adalah ajaran demokrasi. Naskah Carita
Parahyangan antara lain menyebutkan tipe pemimpin ideal, yaitu pemimpin
yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi leluhur, menghormati
pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan serta menenteramkan rakyat.
Ajaran dan tipe kepemimpinan
tersebut rupanya benar-benar diimplementasikan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh
julukan “Siliwangi” terhadap mereka. Raja Sunda yang silih berganti
meninggalkan nama wangi (harum) karena kepemimpinannya yang baik.
Hasil
penelitian penulis dalam rangka menulis tesis berjudul Kedudukan dan Peranan Bupati Priangan Pada Abad ke-19 dan disertasi
berjudul Perubahan Sosial di Bandung
1810-1906, menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda diwarisi oleh
para bupati Bandung khususnya dan bupati di Priangan umumnya, paling tidak
sampai dengan perempat pertama abad ke-20. Di antara para bupati Bandung masa
kolonial yang kepemimpinan dan kinerjanya cukup menonjol adalah Bupati R.A.
Wiranatakusumah II alias Dalem Kaum (1794-1829), Bupati R.A. Wiranatakusumah IV
(1846-1874), Bupati R.A. Kusumadilaga (1874-1893), dan Bupati R.A.A.
Martanagara (1893-1918).
Dalam
pandangan masyarakat pribumi, Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah “Bapak
Pendidiri Kota Bandung”, Bupati R.A. Wiranatakusumah IV adalah “Bapak
Pembangunan Bandung”, dan Bupati R.A.A. Martanagara adalah “Bapak Modernisasi
Bandung”. Pada masa pemerintahan kedua bupati yang disebut terakhir, kehidupan
rakyat Bandung lebih baik dari kehidupan rakyat di kabupaten-kabupaten lain.
Keberhasilan
Bupati R.A. Wiranatakusumah IV memajukan Bandung
bukan hanya dirasakan oleh masyarakat pribumi, tetapi diakui pula oleh
pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia memperoleh tanda penghargaan dari
pemerintah kolonial berupa bintang Ridder
in de Orde van den Nederlandschen Leuw. Itulah sebabnya Bupati R.A.
Wiranatakusumah IV mendapat julukan “Dalem Bintang”. Penggantinya, yaitu Bupati
R.A. Kusumadilaga berhasil memajukan kehidupan ekonomi rakyat, antara lain
melalui koperasi.
Kepemimpinan dan kinerja para bupati
tersebut kiranya layak untuk diteladani, karena keberhasilan mereka justru
terjadi di masa penjajahan. Teoretis, di masa kemerdekaan, lebih-lebih dalam
program otda (otonomi daerah), Kabupaten Bandung harus lebih maju dari masa
sebelumnya. Akan tetapi, perubahan zaman, selain menimbulkan dampak positif,
juga mendatangkan dampak negatif yang menghambat pembangunan.
Bupati Bandung menyatakan, bahwa
dalam mewujudkan misinya Pemkab Bandung tidak luput dari berbagai kendala yang
dihadapi. Kendala-kendala dimaksud antara lain masalah PKL (pedagang kaki lima), masalah banjir, dan
kerusakan hutan akibat perambahan sekelompok manusia. Kendala-kendala tersebut
terutama menghambat realisasi misi kedua dan ketiga.
Dalam upaya mengatasi
kendala-kendala itu, hendaknya jangan hanya memperhatikan kondisi yang tampak
di permukaan. Dalam rangka mengatasi masalah PKL dan perambahan hutan, perlu
dipahami apa yang menjadi akar permasalahannya, karena kedua masalah itu tidak
muncul secara tiba-tiba pada masa sekarang, tetapi masalah itu timbul melalui
proses. Dalam hal ini, tidaklah berlebihan apabila dilakukan penelitian sosial
budaya pada masyarakat Bandung.
Penelitian itu dilakukan dengan pendekatan sejarah, untuk mengkaji akar
permasalahan atau latar belakang timbulnya maslah, karena suatu peeristiwa atau
kasus yang terjadi biasanya memiliki latar belakang.
Timbulnya banjir pada dasarnya
akibat sebagian hutan menjadi gundul oleh ulah manusia, sehingga hutan tidak
lagi berfungsi sepenuhnya sebegai penyerap air hujan. Lahan hutan banyak yang
longsor, dan tanah longsorannya menyebabkan aliran sungai menjadi dangkal.
Sementara itu, aliran air sungai tidak lancar akibat sungai dijadikan tempat
pembuangan sampah. Oleh karena itu, sekarang banjir di daerah Bandung
bukan hanya terjadi di daerah Bandung
selatan akibat meluapnya Sungai Citarum, tetapi banjir itu terjadi pula di
beberapa daerah lain. Misalnya, di daerah Cicalengka dan Rancaekek, banjir
terjadi akibat meluapnya air di beberapa sungai yang melintasi daerah tersebut,
yaitu Sungai Cibodas, Cisangkuy, Citarik, Cimande, dan Cijalupang. Banjir luapan
air Sungai Cibodas terjadi berulangkali, yaitu tahun 1964, 1992, dan sekarang (PR, 31-01-2003).
Banjir Sungai Cibodas terjadi akibat
penggundulan hutan Gunung Kareumbi. Kondisi itu menunjukkan bahwa hutan yang
merupakan salah satu kekayaan alam dan memiliki arti penting bagi kehidupan,
tidak dikelola dengan baik. Selain terjadi penebangan liar, terjadi pula
perubahan tata guna lahan, dari hutan lindung menjadi lahan pertanian musiman.
Sementara itu, reboisasi hutan enderung lambat. Di beberapa tempat, pada lahan
perbukitan bukannya dilakukan reboisasi dengan menanam tanaman keras, tetapi
yang ditanam malah tembok/beton. Sekarang ini lahan daerah perbukitan banyak
dibuka dijadikan komplek perumahan.
Dalam usaha memelihara lingkungan
(misi ketiga), khususnya pemeliharaan hutan dan sungai, ada baiknya apabila
diketahui bagaimana hutan dan sungai di Bandung
tempo dulu dipelihara. Sejak Kabupaten Bandung berdiri (tahun 1641 menurut
versi Pemkab Bandung) sampai beberapa puluh tahun kemudian, kondisi hutan di Bandung dapat dikatakan
utuh. Pada waktu itu lahan hutan yang dibuka hanya sebagian dari perbukitan
didaerah lndai. Lahan itu digunakan sebagai lahan pertanian dengan sistem huma
(ladang).
Sejak wilayah Priangan dikuasai oleh
Kompeni (VOC) mulai tahun 1677, lahan perbukitan/hutan berangsur-angsur dibuka
untuk penanaman wajib kopi dalam Sistem Priangan (Preangerstelsel). Penanaman wajib kopi di Priangan, termasuk Bandung, berlangsung
sampai dengan dekade kedua abad ke-20. Akan tetapi, pada perkebunan kopi itu
juga dilakukan penanaman sistem tumpang sari. Sejak tahun 1870-an, selain
perkebunan kopi pemerintah, sebagian hutan dijadikan perkebunan (terutama kina,
karet, dan teh) oleh para pengusaha swasta Belanda/Eropa.
Pada waktu itu di daerah Bandung khususnya tidak
terjadi perusakan hutan. Oleh karena itu, banjir di Bandung
setiap musim hujan hanya terjadi di daerah Bandung
selatan, karena memang daerah itu lebih rendah bila dibandingkan dengan
daerah-daerah Bandung
lainnya. Banjir waktu itu terutama terjadi akibat meluapnya Sungai Citarum.
Akan tetapi, sungai-sungai lain jarang menimbulkan banjir.
Berdasarkan kajian sejarah, kondisi
itu terjadi karena beberapa faktor. Pertama, hutan di luar daerah perkebunan
terpelihara dengan baik karena mendapat perhatian, baik dari pemerintah
kabupaten maupun dari pihak kolonial. Bupati besar perhatiannya terhadap
kelestarian hutan. Sikap bupati itu berkaitan erat dengan hak istimewa bupati,
yaitu hak melakukan perburuan di hutan. Hal istimewa bupati itu menyebabkan adanya
hutan yang disebut “leuweung larangan”
(hutan tutupan), yaitu hutan yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, karena
hutan itu menjadi tempat bupati dan pejabat lain berburu, khususnya berburu
rusa.
Setelah pihak swasta asing
(Belanda/Eropa) banyak yang berkiprah dalam usaha perkebunan, pihak perkebunan
sewaktu-waktu mengontrol hutan-hutan di sekitar perkebunan. Kegiatan itu
dilakukan sebagai antisipasi agar tidak terjadi bencana yang akan merugikan
perebunan. Biasanya pengontrolan hutan dilakukan sambil berburu binatang buas
(harimau, babi hutan, dll.).
Kedua, kondisi sungai juga mendapat perhatian. Selain untuk kepeerluan
pengairan lahan pertanian dan kehidupan lainnya, perhatian bupati terhadap
kelestarian sungai jug berkaitan dengan hak istimewa bupati untuk menagkap ikan
di sungai. Oleh karena itu, salah satu kewajiban rakyat dalam pancen diensten (kewajiban rakyat untuk
kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati) adalah memelihara sungai.
Rakyat tidak dapat seenaknya menangkap ikan di sungai, kecuali bersama bupati,
yaitu bila bupati berkeinginan berekreasi dengan cara menangkap ikan di sungai
tertentu.
Pemeliharaan
sungai juga dilakukan karena di daerah tertentu, sungai-sungai berfungsi
sebagai prasarana transportasi. Sebelum transportasi kereta api beralngsung di
Jawa Barat (mulai tahun 1870-an), Sungai Citarum dari Cikao (daerah Purwakarta)
sampai pantai Cilincing digunakan sebagai prasarana transportasi kopi yang
diangkut dengan perahu. Untuk memperlancar kegiatan itu, di daerah tertentu Sungai
Citarum pernah dikeruk. Beberapa sungai lain juga digunakan oleh penduduk
sbagai prasarana transportasi. Seingat penulis, di daerah Kawali, pemeliharaan
sungai yang dilakukan secara gotong-royong masih berlangsung sampai dengan
tahun 1960-an. Pemeliharaan hutan dan sungai tempo dulu yang melibatkan
pemimpin atau pejabat, mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya
kelestarian lingkungan.
Apabila dibandingkan dengan
masa sekarang, banjir di Bandung tempo dulu daat dikatakan hampir sepenuhnya
merupakan benana alam, tanpa keterlibatan ulah manusia. Di Bandung memang
pernah terjadi banjir akibat ulah manusia. Banjir itu antara lain terjadi pada
tahun 1917 yang melanda kota Bandung. Hal itu terjadi akibat beberapa daerah
resapan air di Bandung utara rusak oleh pembangunan perumahan kelompok elite.
Bencana banjir tersebut segera
mendapat perhatian, baik dari pemerintah gemeente
dan pemerintah kabupaten, maupun dari tokoh-tokoh pecinta lingkungan.
Terbentuklah Bandoengsche Comite tot
Natuurbescherming (Komite Perlingan Alam Bandung). Komite itu segera
melakukan konservasi daerah Dago Atas dengan menjadikan daerah itu sebagai
Soenda Openlucht Museum (Museum Terbuka Alam Sunda). Tindakan tersebut
dimaksudkan untuk memelihara kawasan hutan di daerah Bandung utara berikut
kandungan airnya.
Sumber-sumber sejarah Bandung
yang penulis peroleh, tidak ada yang menyebutkan banjir di Bandung tempo dulu
mengakibatkan kerugian besar bagi penduduk. Belum ditemukan data yang
menyatakan adanya korban jiwa manusia akibat banjir waktu itu. Boleh jadi hal
tersebut disebabkan oleh kesigapan pemerintah, baik pemerintah pribumi maupun
pemerintah kolonial mengantisipasi bahaya banjir.
Dulu, hutan dan sungai di
Bandung benar-benar merpakan faktor dasar penunjang potensi ekonomi, baik
ekonomi perkebunan maupun ekonomi pertanian. Oleh karena itu, gerakan “Citarum
Bergetar” (bersih, geulis, dan lestari) hendaknya tidak hanya dilakukan di
daerah aliran Citarum, tetapi dilakukan pula di daerah aliran sungai lain,
terutama di daerah sungai-sungai yang menimbulkan banjir.
Kegiatan penghijauan atau
reboisasi hutan perlu disertai oleh penyosialan keppres tentang penebangan
liar. Sementara itu, kiranya perlu dipertimbangankan penghijauan dengan
penanaman kembali kopi, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan potensi ekonomi (misi kelima). Sejarah menunjukkan, selama
berlangsungnya penanaman kopi di Priangan (perempat terakhir abad ke-17 sampai
dengan dekade kedua abad ke-20), Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan.
Faktor dasarnya adalah kesuburan tanah dan ketinggian daerah perbukitan.
Bandung sangat cocok untuk tanaman kopi. Sekarang pun kondisi dan potensi lahan itu relatif tidak berubah.
Lahan daerah Bandung juga
sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman padi, ketela pohon, dll. Pada akhir abad
ke-19, Bandung merupakan daerah surplus padi, sehingga sebagian besar
padi/beras dari Bandung dijual ke Jakarta (Batavia) dan Jawa Tengah. Sangat
disayangkan, sekarang banyak areal persawahan yang baik menjadi hilang akibat
pembangunan fisik. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan pula penggalaan
penanaman ketela pohon, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Bupati
R.A.A. Martanagara (1893-1918). Pada waktu itu, sebagian besar produksi tapioka
dari Bandung diekspor ke Eropa. Sampai dengan dekade pertama abad ke-20,
Bandung juga merupakan produsen kina terbesar di dunia.
Aabila dulu Kabupaten Bandung
memiliki potensi unggulan produksi kopi, kina, dan tapioka, mengapa sekarang
tidak? Pada tempatnyalah apabila hal itu menjadi bahan renungan dan kajian.
Kajian hendaknya dilakukan pula terhadap kondisi sosial budaya masyarakat,
antara lain untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar partisipasi
masyarakat terhadap upaya pembenahan Kabuaten Bandung. Kajian itu penting, karena
visi dan misi Pemkab Bandung – seperti ditegaskan oleh Bupati Bandung – hanya
dapat terwujud bila ada partisipasi masyarakat yang berbasis religius,
kultural, dan berwawasan lingkungan, dan hakikat pembangunan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berhasil atau tidaknya pembenahan itu,
pada dasarnya akan tergantung dari sikap kedua belah pihak (menyangkut misi
keempat). Pada satu sisi, tergantung dari sikap pemimpin dalam melaksanakan
fungsi dan tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Pada sisi lain, tergantung
pada sikap masyarakat dalam mencintai daerahnya dan memenuhi kewajiban mereka
selaku warga negara yang baik.
Penulis: Sejarawan Fakultas Sastra Unpad/Anggota
Pengurus Pusat Studi Sunda.
Catatan: Dimuat
dalam PR, 21 Mei 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar