Sabtu, 22 Juni 2013

Titimangsa Jawa Barat



TITIMANGSA JAWA BARAT
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Seperti diberitakan oleh koran ini (PR, 2 Juli 2010), tanggal 1 Juli yang lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan H.U. Pikiran Rakyat mengadakan saresehan bertema Ngaguar Titimangsa Jawa Barat. Kegiatan itu berlangsung di gedung BAPPEDA Provinsi Jawa Barat Jalan Ir. H. Juanda 287 Bandung. Saresehan menampilkan tiga orang guru besar sebagai narasumber (pembicara), yaitu Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja, M.A. (Antropolog), Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis (Sejarawan), dan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf (Pakar Hukum).
            Acara tersebut – seperti ditunjukkan oleh temanya – bertujuan untuk mencari titimangsa alias hari jadi Jawa Barat; tegasnya hari jadi Provinsi Jawa Barat. Dari pembicaraan para narasumber dan beberapa peserta saresehan, termasuk saya, muncul tiga alternatif titimangsa Provinsi Jawa Barat, yaitu 1 Januari 1926, 19 Agustus 1945, dan 15 Juli 1950. Pertanyaannya adalah, tanggal mana yang paling tepat dipilih dan ditetapkan sebagai titimangsa (hari jadi) Provinsi Jawa Barat?
            Dalam memilih titimangsa Provinsi Jawa Barat, ibu Eni Rochaeni Kepala Bagian Perundangan-undangan Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa ”pemilihan titimangsa itu (harus) didasarkan pada kajian ilmiah dan fakta sejarah Jabar”. Sementara itu, bapak Deden Darmansyah anggota Komisi A DPRD Jawa Barat, menyatakan ”kajian (titimangsa Jawa Barat) harus mendalam dan universal berdasarkan kronologis sejarah Jabar” (PR, 7 Juli 2010).
            Saya sependapat dengan pernyataan tersebut, karena pencarian titimangsa/hari jadi Provinsi Jawa Barat yang baru dilakukan sekarang, dengan tenggang waktu sangat jauh dari waktu berdirinya provinsi tersebut, adalah permasalahan metode/metodologi sejarah. Dengan kata lain, pencarian titimangsa Provinsi Jawa Barat adalah salah satu obyek kajian sejarah. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, terlebih dahulu perlu dipahami latar belakang pembentukan Provinsi Jawa Barat.
Bila ditelusuri latar belakangnya, pembentukan Provinsi Jawa Barat dan beberapa provinsi lain, tidak terlepas kaitannya dengan perjuangan tokoh-tokoh nasionalis pada bagian akhir masa pergerakan nasional.
            Mulai tahun 1920-an, kegiatan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia makin meningkat, baik yang bersifat kooperatif maupun non-kooperatif. Mereka seolah-olah tidak khawatir akan tindakan keras pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan mereka terutama berorientasi pada masalah politik, termasuk masalah pemerintahan.
            Masalah pemerintahan bukan hanya menjadi perhatian golongan pribumi, tetapi juga golongan Eropa/Belanda. Waktu itu pelaksanaan pemerintahan desentralisasi dirasakan tidak memuaskan, baik oleh oleh golongan Eropa/Belanda maupun golongan pribumi. Mereka menghendaki wewenang yang lebih luas dalam bidang otonomi pemerintahan. Mereka menuntut reorganisasi susunan pemerintahan. Tuntutan itu makin santer setelah pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah lembaga legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat, semacam DPR sekarang) tanggal 18 Mei 1918.
Lembaga/dewan itu tidak hanya beranggotakan tokoh-tokoh golongan Belanda, tetapi juga beberapa tokoh pribumi (tokoh pergerakan nasional) antara lain Moh. Husni Thamrin dan Oto Iskandar di Nata (tokoh Jawa Barat yang mendapat julukan ”Si Jalak Harupat”). Melalui lembaga tersebut, tokoh-tokoh pergerakan nasional menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda, agar orang pribumi diberi kesempatan cukup luas untuk turut berperan dalam pemerintahan.
            Sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan tersebut, tahun 1922 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang/peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrsi yang lebih luas. Undang-undang/peraturan dimaksud adalah, pertama, Bestuurshervormingswet (Undang-undang perubahan pemerintahan), memuat ketentuan-ketentuan tentang pembentukan daerah otonom provinsi. Kedua, Regentschaps-ordonantie, memuat ketentuan-ketentuan tentang pembentukan daerah otonom kabupaten. Ketiga, Stadsgemeente-ordonantie, memuat ketentuan-ketentuan tentang stadsgemeenten (kotapraja).
            Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi, kabupaten, dan kotapraja (gemeente). Provinsi yang dibentuk adalah provinsi-provinsi Jawa Barat (West Java), Jawa Tengah (Midden Java), dan Jawa Timur (Oost Java).
            Provinsi Jawa Barat adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda, diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dengan sebutan Provincie West Java, diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, kemudian ditegaskan lagi dalam Staatsblad 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.
            Masyarakat Sunda waktu itu menyebutnya Provinsi Pasundan. Hal itu berarti pembentukan Provincie West Java diakui atau diterima oleh masyarakat Sunda/Jawa Barat. Mereka, disadari atau tidak, merasa bangga, karena – seperti telah disebutkan – Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda (Nusantara). Bila latar belakang pembentukan provinsi itu dikaji secara seksama, pembentukan Provincie West Java merupakan realisasi dari tuntutan tokoh-tokoh pribumi, terutama tokoh-tokoh pergerakan nasional, agar bangsa Indonesia turut berperan dalam pemerintahan. Berarti tokoh pribumi pengaju tuntutan tersebut – dinyatakan atau tidak – menerima pembentukan Provincie West Java dan provinsi lain yang dibentuk kemudian.
            Waktu itu, orang pribumi (bangsa Indonesia) turut berperan dalam pemerintahan provinsi, paling tidak melalui Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Anggota Dewan Provincie West Java angkatan pertama (1926) berjumlah 45 orang, 20 orang di antaranya adalah orang pribumi.
            Wilayah Provincie West Java mencakup lima keresidenan, masing-masing terdiri atas beberapa kabupaten, yaitu Keresidenan Banten (3 kabupaten), Keresidenan Batavia (3 kabupaten), Keresidenan Bogor/Buitenzorg (3 kabupaten), Keresidenan Priangan (5 kabupaten), dan Keresidenan Cirebon (4 kabupaten). Terdapat pula enam kotapraja (gemeente), yakni Batavia, Jatinegara (Meester Cornelis), Bogor (Buitenzorg), Bandung, Cirebon, dan Sukabumi. Tiap wilayah memiliki penduduk mayoritas orang pribumi. Dengan demikian, pembentukan Provincie West Java selain diterima oleh masyarakat pribumi, juga memenuhi syarat ketatanegaraan. Hal-hal tersebut menunjukkan tanggal 1 Januari 1926 merupakan fakta kuat sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat.
Bagaimana dengan tanggal 19 Agustus 1945 dan 15 Agustus 1950 yang dianggap sebagai alternatif titimangsa Provinsi Jawa Barat?
Tanggal 19 Agustus 1945 adalah tanggal berlangsungnya sidang kedua kali Panitia Kemerdekaan (semula PPKI = Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada awal kemerdekaan Indonesia. Sidang itu antara lain menetapkan bahwa wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda. Untuk sementara, wilayah itu dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Tiap propinsi terdiri atas keresidenan-keresidenan, masing-masing dikepalai oleh seorang residen.
            Apabila keputusan sidang Panitia Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 itu dijadikan dasar pemilihan titimangsa provinsi, berarti titimangsa Provinsi Jawa Barat sama dengan titimangsa tujuh provinsi lainnya, seperti tanggal lahir anak kembar. Namun dalam kenyataan sekarang, hanya Provinsi Maluku yang memilih tanggal 19 Agustus 1945 sebagai hari jadinya.
Bagi pemerinthan di Jawa Barat, penetapan pembagian provinsi dalam sidang kedua Panitia Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945, berarti Pemerintah RI hanya mengubah sebutan Provincie West Java menjadi Provinsi Jawa Barat, dan mengangkat orang Indonsia menjadi gubernur dan residen (kedua jabatan itu semula dipegang oleh orang Belanda). Dikatakan demikian, karena pada awal kemerdekaan, pembagian keresidenan dan kabupaten di Jawa Barat tidak berubah, sama seperti sebelumnya. Dari segi kronologi sejarah pemerintahan provinsi di Jawa Barat, 19 Agustus 1945 adalah tanggal pembentukan kembali pemerintah provinsi di daerah tersebut dengan nama Provinsi Jawa Barat. Ibaratnya, seorang anak laki-laki lahir tanggal 1 Januari 1926 dan diberi nama Dadap. Beberapa tahun kemudian, nama anak itu diganti menjadi Waru yang diresmikan tanggal 19 Agustus 1945. Meskipun ganti nama, tanggal lahir anak itu tetap 1 Januari 1926. Demikian pula halnya dengan Provinsi Jawa Barat.
            Oleh karena itu, meskipun tanggal 19 Agustus 1945 merupakan fakta sejarah, tetapi bukan fakta kuat dan tepat sebagai titimangsa adanya pemerintahan berbentuk provinsi di Jawa Barat. Tanggal 19 Agustus 1945 baru memadai dianggap hari jadi Provinsi Jawa Barat, jika tanggal peresmian Provincie West Java tidak diketahui. Tanggal 15 Agustus 1950 pun maknanya hampir sama dengan makna tanggal 19 Agustus 1945.
            Sumber-sumber akurat mengenai sejarah Jawa Barat menunjukkan, antara tanggal 17 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, di Indonesia berlangsung pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) bentukan pihak Belanda yang tidak mengakui kedaulatan RI (Republik Indonesia). Tanggal 15 Agustus 1950 pemerintah RIS mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 tentang pembentukan kembali Provinsi Jawa Barat. Undang-undang itu menunjukkan tanggal 15 Agustus 1950 memang fakta sejarah, tetapi jelas bukan fakta titimangsa Provinsi Jawa Barat, melainkan fakta pembentukan kembali provinsi tersebut.
            Paparan tersebut menunjukkan secara jelas, bahwa tanggal 1 Januari 1926 adalah fakta sejarah yang kuat dan tepat sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat. Meskipun waktu itu sebutannya Provincie West Java (bahasa Belanda), tetapi artinya adalah Provinsi Jawa Barat. Sudah dipahami secara umum, titimangsa atau hari jadi adalah waktu – yang mengacu pada tanggal – pertama kali berdirinya atau adanya sesuatu, identik dengan tanggal lahir seseorang. Hal itu berarti, tanggal titimangsa atau hari jadi berdasarkan fakta sejarah yang kuat, keabsahannya tidak dapat digugat. Dalam kaitan ini, tanggal 19 Agustus 1945 dan 15 Agustus 1950 – meminjam istilah dari pembicara terdahulu – merupakan fakta sejarah yang ”menggoda” (PR, 18 November 2009).
            Bila pembentukan provinsi di Jawa Barat tanggal 1 Januari 1926 tidak diakui, karena produk pemerintah kolonial, hal itu berarti tidak konsisten dengan pengakuan atas beberapa kabupaten yang sama-sama dibentuk oleh pihak penjajah. Contoh, kabupaten-kabupaten Galuh (sekarang Ciamis), Sumedang, Bandung, Sukapura (sekarang Tasikmalaya), dibentuk oleh raja Mataram pada abad ke-17. Waktu itu secara politis, Mataram adalah ”penjajah” di beberapa daerah Jawa Barat, khususnya Priangan. Kabupaten Tangerang dibentuk oleh pemerintah pendudukan/militer Jepang (27 Desember 1943). Pembentukan kabupaten-kabupaten itu jelas tidak dilandasi oleh sentimen nasional. Kita sebagai bangsa Indonesia memang harus memiliki sentimen nasional. Akan tetapi, penerapan sentimen nasional itu harus sesuai dengan konteks permasalahan dan konteks zamannya.
            Bila ada pendapat, bahwa pemilihan tanggal titimangsa, seperti titimangsa provinsi atau kabupaten, pada kahirnya tergantung pada keputusan penguasa, berarti kita mengakui kembali ungkapan lama, bahwa sejarah ditentukan oleh orang besar (penguasa). Sejarah menunjukkan, bila rekonstruksi suatu peristiwa sejarah ditentukan oleh penguasa, biasanya rekonstruksi itu syarat dengan pemutarbalikkan fakta atau manifulasi fakta, untuk kepentingan tertentu.
Pemilihan/penetapan tanggal 1 Januari 1926 sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat, bukan berarti mengagungkan pihak kolonial (penjajah) dan bukan pula tidak memiliki sentimen nasional. Pemilihan tanggal itu adalah tuntutan metodologi sejarah, tuntutan obyektivitas sejarah. Terlepas dari pihak mana yang paling berperan, dari segi metodologi sejarah, tanggal 1 Januari 1926 -- yang jatuh pada hari Jumat Pon --, suka atau tidak suka, adalah fakta kuat dan tepat sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat. Fakta itu merupakan sejarah sebagai peristiwa, yaitu peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya.
Mudah-mudahan sumbangan pemikiran ini mendapat perhatian dan bermanfaat, khususnya bagi pihak yang berwenang menetapkan titimangsa Provinsi Jawa Barat.


Penulis:  Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad/
               Kasi Penelitian Pusat Studi Sunda (PSS).

Tulisan tersebut dimuat dalam koran Pikiran Rakyat, 24 Juli 2010 hal. 32, tetapi beberapa kalimat dihapuskan.


Catatan:
Mohon ditelaah pula pernyataan Dr. Agus Mulyana, sejarawan UPI pada halaman di bawah ini.

            Sehubungan dengan pemilihan titimangsa Provinsi Jawa Barat, pada koran PR edisi yang sama, Dr. Agus Mulyana menurunkan tulisan berjudul ”Antara Ideologis dan Sentimen Etnis”. Dr. Agus mengemukakan antara lain sebagai berikut. – (kutipan langsung).
      Realitas sejarah tentang Provinsi Jawa Barat sudah ada sejak dikeluarkannya surat keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1926 dengan sebutan Provincie West Java.
      Yang harus kita ligat lagi adalah konsep Jawa Barat sebagai suatu provinsi, wilayah administrasi pemerintahan, sudah ada sejak saat itu. Apakah penetapan 1 Januari 1926 tidak nasionalis? Perspektif nasionalis pun harus dilihat pada fakta sejarah. Pada awal abad ke-20 gagasan nasionalisme sudah muncul di Hindia Belanda yang dipelopori kaum terpelajar. Mereka adalah kaum pribumi yang dididik pemerintah kolonial Belanda, yang sadar bangsanya dijajah sehingga lahirlah paham nasionalisme. Salah satu peran penting dari tokoh pergerakan kebangsaan adalah tuntutan agar kaum pribumi diikutsertakan dalam pemerintahan. Tuntutan tersebut diimplementasikan oleh pemerintah Hindia Belanda, di antaranya pembentukan provinsi sebagai bagian dari desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pemerintahan. Pembentukan Provinsi Jawa Barat pada dasarnya bagian dari perjuangan tokoh pergerakan kebangsaan. Dengan demikian, penetapan hari jadi Provinsi Jawa Barat tanggal 1 Januari 1926 memiliki nilai nasionalis.
      .....................................................................................................................................................................................................................................................
      Penetapan hari jadi Jawa Barat apabila diambil setelah kemerdekaan, akan merupakan pedangkalan terhadap memori kolektif masyarakat Sunda. Karena, masyarakat Sunda sudah mengenal istilah dan sejarah Sunda jauh sebelum republik berdiri. ..................................................................................................
      Berdasarkan pemaparan itu, penulis berpandangan penetapan hari jadi Jawa Barat pada 1 Januari 1926 memiliki makna lebih luas. Penetapan hari jadi bagaikan pencarian tanggal ulang tahun. Dalam kehidupan manusia, ulang tahun memiliki makna yang begitu mendalam. Begitu pula dalam menetapkan hari jadi Provinsi Jawa Barat diharapkan memberikan makna yang lebih luas kepada masyarakat. Pertimbangan ideologis dan etnis kedaerahan merupakan hal yang harus diperhatikan di samping aspek metodologis sejarah. Hari jadi Provinsi Jawa Barat harus mampu membangun rasa solidaritas kultural dalam masyarakat agar masyarakat memiliki sense of belonging terhadap hari kelahiran wilayahnya (PR, 24 Juli 2010: 32).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar