TITIMANGSA JAWA BARAT
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra
Seperti diberitakan oleh koran ini (PR, 2 Juli 2010), tanggal 1 Juli yang
lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan H.U. Pikiran Rakyat mengadakan saresehan bertema Ngaguar Titimangsa Jawa Barat. Kegiatan itu berlangsung di gedung
BAPPEDA Provinsi Jawa Barat Jalan Ir. H. Juanda 287 Bandung. Saresehan menampilkan tiga orang guru
besar sebagai narasumber (pembicara), yaitu Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja, M.A.
(Antropolog), Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis (Sejarawan), dan Prof. Dr. Asep
Warlan Yusuf (Pakar Hukum).
Acara tersebut – seperti ditunjukkan
oleh temanya – bertujuan untuk mencari titimangsa
alias hari jadi Jawa Barat; tegasnya hari jadi Provinsi Jawa Barat. Dari
pembicaraan para narasumber dan beberapa peserta saresehan, termasuk saya, muncul tiga alternatif titimangsa Provinsi Jawa Barat, yaitu 1
Januari 1926, 19 Agustus 1945, dan 15 Juli 1950. Pertanyaannya adalah, tanggal
mana yang paling tepat dipilih dan ditetapkan sebagai titimangsa (hari jadi) Provinsi Jawa Barat?
Dalam memilih titimangsa Provinsi Jawa Barat, ibu Eni Rochaeni Kepala Bagian
Perundangan-undangan Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa ”pemilihan titimangsa itu (harus) didasarkan pada
kajian ilmiah dan fakta sejarah Jabar”. Sementara itu, bapak Deden Darmansyah
anggota Komisi A DPRD Jawa Barat, menyatakan ”kajian (titimangsa Jawa Barat) harus mendalam dan universal berdasarkan
kronologis sejarah Jabar” (PR, 7 Juli
2010).
Saya sependapat dengan pernyataan
tersebut, karena pencarian titimangsa/hari jadi Provinsi Jawa Barat yang baru
dilakukan sekarang, dengan tenggang waktu sangat jauh dari waktu berdirinya
provinsi tersebut, adalah permasalahan metode/metodologi sejarah. Dengan kata
lain, pencarian titimangsa Provinsi Jawa Barat adalah salah satu obyek kajian
sejarah. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, terlebih
dahulu perlu dipahami latar belakang pembentukan Provinsi Jawa Barat.
Bila ditelusuri latar belakangnya, pembentukan Provinsi Jawa Barat dan
beberapa provinsi lain, tidak terlepas kaitannya dengan perjuangan tokoh-tokoh
nasionalis pada bagian akhir masa pergerakan nasional.
Mulai tahun 1920-an, kegiatan
tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia makin meningkat, baik yang
bersifat kooperatif maupun non-kooperatif. Mereka seolah-olah tidak khawatir
akan tindakan keras pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan mereka terutama
berorientasi pada masalah politik, termasuk masalah pemerintahan.
Masalah pemerintahan bukan hanya menjadi
perhatian golongan pribumi, tetapi juga golongan Eropa/Belanda. Waktu itu pelaksanaan
pemerintahan desentralisasi dirasakan tidak memuaskan, baik oleh oleh golongan
Eropa/Belanda maupun golongan pribumi. Mereka menghendaki wewenang yang lebih
luas dalam bidang otonomi pemerintahan. Mereka menuntut reorganisasi susunan
pemerintahan. Tuntutan itu makin santer setelah pemerintah Hindia Belanda
membentuk sebuah lembaga legislatif, yaitu Volksraad
(Dewan Rakyat, semacam DPR sekarang) tanggal 18 Mei 1918.
Lembaga/dewan itu tidak hanya beranggotakan tokoh-tokoh golongan Belanda,
tetapi juga beberapa tokoh pribumi (tokoh pergerakan nasional) antara lain Moh.
Husni Thamrin dan Oto Iskandar di Nata (tokoh Jawa Barat yang mendapat julukan
”Si Jalak Harupat”). Melalui lembaga tersebut, tokoh-tokoh pergerakan nasional
menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda, agar orang pribumi diberi kesempatan
cukup luas untuk turut berperan dalam pemerintahan.
Sebagai jawaban atas
tuntutan-tuntutan tersebut, tahun 1922 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
undang-undang/peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan
dekonsentrsi yang lebih luas. Undang-undang/peraturan dimaksud adalah, pertama,
Bestuurshervormingswet (Undang-undang
perubahan pemerintahan), memuat ketentuan-ketentuan tentang pembentukan daerah
otonom provinsi. Kedua, Regentschaps-ordonantie,
memuat ketentuan-ketentuan tentang pembentukan daerah otonom kabupaten. Ketiga,
Stadsgemeente-ordonantie,
memuat ketentuan-ketentuan tentang stadsgemeenten
(kotapraja).
Berdasarkan ketiga peraturan
tersebut, di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi, kabupaten, dan
kotapraja (gemeente). Provinsi yang
dibentuk adalah provinsi-provinsi Jawa Barat (West Java), Jawa Tengah (Midden
Java), dan Jawa Timur (Oost Java).
Provinsi Jawa Barat adalah provinsi pertama
yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda, diresmikan dengan surat keputusan tanggal
1 Januari 1926, dengan sebutan Provincie
West Java, diundangkan dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) 1926 No. 326, kemudian ditegaskan lagi dalam Staatsblad 1928 No. 27 jo No. 28, 1928
No. 438, dan 1932 No. 507.
Masyarakat Sunda waktu itu
menyebutnya Provinsi Pasundan. Hal itu berarti pembentukan Provincie West Java diakui atau diterima
oleh masyarakat Sunda/Jawa Barat. Mereka, disadari atau tidak, merasa bangga,
karena – seperti telah disebutkan – Provincie
West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda
(Nusantara). Bila latar belakang pembentukan provinsi itu dikaji secara seksama,
pembentukan Provincie West Java
merupakan realisasi dari tuntutan tokoh-tokoh pribumi, terutama tokoh-tokoh
pergerakan nasional, agar bangsa Indonesia turut berperan dalam pemerintahan.
Berarti tokoh pribumi pengaju tuntutan tersebut – dinyatakan atau tidak –
menerima pembentukan Provincie West Java dan
provinsi lain yang dibentuk kemudian.
Waktu itu, orang pribumi (bangsa
Indonesia) turut berperan dalam pemerintahan provinsi, paling tidak melalui
Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Anggota
Dewan Provincie West Java angkatan
pertama (1926) berjumlah 45 orang, 20 orang di antaranya adalah orang pribumi.
Wilayah Provincie West Java mencakup lima keresidenan, masing-masing
terdiri atas beberapa kabupaten, yaitu Keresidenan Banten (3 kabupaten),
Keresidenan Batavia (3 kabupaten), Keresidenan Bogor/Buitenzorg (3 kabupaten),
Keresidenan Priangan (5 kabupaten), dan Keresidenan Cirebon (4 kabupaten).
Terdapat pula enam kotapraja (gemeente),
yakni Batavia, Jatinegara (Meester Cornelis), Bogor (Buitenzorg), Bandung,
Cirebon, dan Sukabumi. Tiap wilayah memiliki penduduk mayoritas orang pribumi.
Dengan demikian, pembentukan Provincie
West Java selain diterima oleh masyarakat pribumi, juga memenuhi syarat
ketatanegaraan. Hal-hal tersebut menunjukkan tanggal 1 Januari 1926 merupakan
fakta kuat sebagai titimangsa
Provinsi Jawa Barat.
Bagaimana dengan tanggal 19 Agustus 1945 dan 15 Agustus 1950 yang dianggap
sebagai alternatif titimangsa
Provinsi Jawa Barat?
Tanggal 19 Agustus 1945 adalah tanggal berlangsungnya sidang kedua kali
Panitia Kemerdekaan (semula PPKI = Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
pada awal kemerdekaan Indonesia. Sidang itu antara lain menetapkan bahwa
wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda. Untuk sementara, wilayah
itu dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, masing-masing dikepalai
oleh seorang gubernur. Tiap propinsi terdiri atas keresidenan-keresidenan,
masing-masing dikepalai oleh seorang residen.
Apabila keputusan sidang Panitia
Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 itu dijadikan dasar pemilihan titimangsa provinsi, berarti titimangsa Provinsi Jawa Barat sama
dengan titimangsa tujuh provinsi
lainnya, seperti tanggal lahir anak kembar. Namun dalam kenyataan sekarang, hanya
Provinsi Maluku yang memilih tanggal 19 Agustus 1945 sebagai hari jadinya.
Bagi pemerinthan di Jawa Barat, penetapan pembagian provinsi dalam sidang
kedua Panitia Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945, berarti Pemerintah RI hanya mengubah
sebutan Provincie West Java menjadi
Provinsi Jawa Barat, dan mengangkat orang Indonsia menjadi gubernur dan residen
(kedua jabatan itu semula dipegang oleh orang Belanda). Dikatakan demikian,
karena pada awal kemerdekaan, pembagian keresidenan dan kabupaten di Jawa Barat
tidak berubah, sama seperti sebelumnya. Dari segi kronologi sejarah
pemerintahan provinsi di Jawa Barat, 19 Agustus 1945 adalah tanggal pembentukan
kembali pemerintah provinsi di daerah tersebut dengan nama Provinsi Jawa Barat.
Ibaratnya, seorang anak laki-laki lahir tanggal 1 Januari 1926 dan diberi nama
Dadap. Beberapa tahun kemudian, nama anak itu diganti menjadi Waru yang
diresmikan tanggal 19 Agustus 1945. Meskipun ganti nama, tanggal lahir anak itu
tetap 1 Januari 1926. Demikian pula halnya dengan Provinsi Jawa Barat.
Oleh karena itu, meskipun tanggal 19
Agustus 1945 merupakan fakta sejarah, tetapi bukan fakta kuat dan tepat sebagai
titimangsa adanya pemerintahan berbentuk
provinsi di Jawa Barat. Tanggal 19 Agustus 1945 baru memadai dianggap hari
jadi Provinsi Jawa Barat, jika tanggal peresmian Provincie West Java tidak diketahui. Tanggal 15 Agustus 1950
pun maknanya hampir sama dengan makna tanggal 19 Agustus 1945.
Sumber-sumber akurat mengenai
sejarah Jawa Barat menunjukkan, antara tanggal 17 Desember 1949 sampai dengan
17 Agustus 1950, di Indonesia berlangsung pemerintahan RIS (Republik Indonesia
Serikat) bentukan pihak Belanda yang tidak mengakui kedaulatan RI (Republik
Indonesia). Tanggal 15 Agustus 1950 pemerintah RIS mengeluarkan Undang-undang
Nomor 11 tentang pembentukan kembali Provinsi Jawa Barat. Undang-undang
itu menunjukkan tanggal 15 Agustus 1950 memang fakta sejarah, tetapi jelas
bukan fakta titimangsa Provinsi Jawa
Barat, melainkan fakta pembentukan kembali provinsi tersebut.
Paparan tersebut menunjukkan secara
jelas, bahwa tanggal 1 Januari 1926 adalah fakta sejarah yang kuat dan tepat
sebagai titimangsa Provinsi Jawa
Barat. Meskipun waktu itu sebutannya Provincie
West Java (bahasa Belanda), tetapi artinya adalah Provinsi Jawa Barat. Sudah
dipahami secara umum, titimangsa atau
hari jadi adalah waktu – yang mengacu pada tanggal – pertama kali berdirinya
atau adanya sesuatu, identik dengan tanggal lahir seseorang. Hal itu berarti,
tanggal titimangsa atau hari jadi
berdasarkan fakta sejarah yang kuat, keabsahannya tidak dapat digugat. Dalam
kaitan ini, tanggal 19 Agustus 1945 dan 15 Agustus 1950 – meminjam istilah dari
pembicara terdahulu – merupakan fakta sejarah yang ”menggoda” (PR, 18 November 2009).
Bila pembentukan provinsi di Jawa Barat
tanggal 1 Januari 1926 tidak diakui, karena produk pemerintah kolonial, hal itu
berarti tidak konsisten dengan pengakuan atas beberapa kabupaten yang sama-sama
dibentuk oleh pihak penjajah. Contoh, kabupaten-kabupaten Galuh (sekarang
Ciamis), Sumedang, Bandung, Sukapura (sekarang Tasikmalaya), dibentuk oleh raja
Mataram pada abad ke-17. Waktu itu secara politis, Mataram adalah ”penjajah” di
beberapa daerah Jawa Barat, khususnya Priangan. Kabupaten Tangerang dibentuk
oleh pemerintah pendudukan/militer Jepang (27 Desember 1943). Pembentukan
kabupaten-kabupaten itu jelas tidak dilandasi oleh sentimen nasional. Kita
sebagai bangsa Indonesia memang harus memiliki sentimen nasional. Akan tetapi,
penerapan sentimen nasional itu harus sesuai dengan konteks permasalahan dan
konteks zamannya.
Bila ada pendapat, bahwa pemilihan
tanggal titimangsa, seperti
titimangsa provinsi atau kabupaten, pada kahirnya tergantung pada keputusan
penguasa, berarti kita mengakui kembali ungkapan lama, bahwa sejarah ditentukan
oleh orang besar (penguasa). Sejarah menunjukkan, bila rekonstruksi suatu
peristiwa sejarah ditentukan oleh penguasa, biasanya rekonstruksi itu syarat
dengan pemutarbalikkan fakta atau manifulasi fakta, untuk kepentingan tertentu.
Pemilihan/penetapan tanggal 1 Januari 1926 sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat, bukan berarti mengagungkan pihak
kolonial (penjajah) dan bukan pula tidak memiliki sentimen nasional. Pemilihan
tanggal itu adalah tuntutan metodologi sejarah, tuntutan obyektivitas sejarah.
Terlepas dari pihak mana yang paling berperan, dari segi metodologi sejarah,
tanggal 1 Januari 1926 -- yang jatuh
pada hari Jumat Pon --, suka atau tidak suka, adalah fakta kuat dan
tepat sebagai titimangsa Provinsi Jawa Barat. Fakta itu merupakan sejarah
sebagai peristiwa, yaitu peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya.
Mudah-mudahan sumbangan pemikiran ini mendapat perhatian dan bermanfaat,
khususnya bagi pihak yang berwenang menetapkan titimangsa Provinsi Jawa Barat.
Penulis: Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad/
Kasi Penelitian Pusat Studi Sunda (PSS).
Tulisan tersebut dimuat dalam koran Pikiran Rakyat, 24 Juli 2010 hal. 32,
tetapi beberapa kalimat dihapuskan.
Catatan:
Mohon ditelaah pula pernyataan Dr. Agus Mulyana,
sejarawan UPI pada halaman di bawah ini.
Sehubungan dengan pemilihan titimangsa
Provinsi Jawa Barat, pada koran PR
edisi yang sama, Dr. Agus Mulyana menurunkan tulisan berjudul ”Antara Ideologis
dan Sentimen Etnis”. Dr. Agus mengemukakan antara lain sebagai berikut. – (kutipan
langsung).
Realitas
sejarah tentang Provinsi Jawa Barat sudah ada sejak dikeluarkannya surat
keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1926 dengan sebutan Provincie West Java.
Yang
harus kita ligat lagi adalah konsep Jawa Barat sebagai suatu provinsi, wilayah
administrasi pemerintahan, sudah ada sejak saat itu. Apakah penetapan 1 Januari
1926 tidak nasionalis? Perspektif nasionalis pun harus dilihat pada fakta
sejarah. Pada awal abad ke-20 gagasan nasionalisme sudah muncul di Hindia
Belanda yang dipelopori kaum terpelajar. Mereka adalah kaum pribumi yang
dididik pemerintah kolonial Belanda, yang sadar bangsanya dijajah sehingga
lahirlah paham nasionalisme. Salah satu peran penting dari tokoh pergerakan
kebangsaan adalah tuntutan agar kaum pribumi diikutsertakan dalam pemerintahan.
Tuntutan tersebut diimplementasikan oleh pemerintah Hindia Belanda, di
antaranya pembentukan provinsi sebagai bagian dari desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam pemerintahan. Pembentukan Provinsi Jawa Barat pada dasarnya
bagian dari perjuangan tokoh pergerakan kebangsaan. Dengan demikian, penetapan
hari jadi Provinsi Jawa Barat tanggal 1 Januari 1926 memiliki nilai nasionalis.
.....................................................................................................................................................................................................................................................
Penetapan
hari jadi Jawa Barat apabila diambil setelah kemerdekaan, akan merupakan
pedangkalan terhadap memori kolektif masyarakat Sunda. Karena, masyarakat Sunda
sudah mengenal istilah dan sejarah Sunda jauh sebelum republik berdiri.
..................................................................................................
Berdasarkan
pemaparan itu, penulis berpandangan penetapan hari jadi Jawa Barat pada 1
Januari 1926 memiliki makna lebih luas. Penetapan hari jadi bagaikan pencarian
tanggal ulang tahun. Dalam kehidupan manusia, ulang tahun memiliki makna yang
begitu mendalam. Begitu pula dalam menetapkan hari jadi Provinsi Jawa Barat
diharapkan memberikan makna yang lebih luas kepada masyarakat. Pertimbangan
ideologis dan etnis kedaerahan merupakan hal yang harus diperhatikan di samping
aspek metodologis sejarah. Hari jadi Provinsi Jawa Barat harus mampu membangun
rasa solidaritas kultural dalam masyarakat agar masyarakat memiliki sense of belonging terhadap hari
kelahiran wilayahnya (PR, 24 Juli
2010: 32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar