Jumat, 21 Juni 2013

Permasalahan Dalam Sejarah Sumedang



PERMASALAHAN DALAM SEJARAH SUMEDANG
TINJAUAN AKADEMIS
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra*)


PENDAHULUAN
            Dalam Ilmu Sejarah, pengertian sejarah terbagai atas dua kategori. Pertama, sejarah sebagai peristiwa, yaitu peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya di masa lampau (history as past actuality). Kedua, sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagaimana dikisahkan secara tertulis (history as written).
            Pengkisahan sejarah secara tertulis terbagi atas tiga sifat atau jenis, yaitu sejarah populer, sejarah ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah.
Ÿ    Sejarah populer adalah kisah sejarah secara tertulis yang hanya berdasarkan sumber-sumber tradisional (babad atau naskah dan cerita rakyat).
Ÿ    Sejarah ilmiah-populer (semi ilmiah) adalah kisah sejarah tertulis berdasarkan             sumber sejarah akurat dan sumber tradisional, termasuk cerita rakyat.
Ÿ    Sejarah ilmiah adalah kisah sejarah tertulis berdasarkan sumber-sumber sejarah         akurat (sumber primer dan sekunder) hasil kritik sumber, sehingga diperoleh fakta   sejarah.
            Tulisan-tulisan tetang Sejarah Sumedang yang telah ada sebagian besar adalah tulisan yang termasuk kategori sejarah populer dan sejarah ilmiah-populer. Sejarah Sumedang bersifat populer dan ilmiah-populer itulah yang diketahui/dipahami oleh warga masyarakat pada umumnya. Sementara, sejarah Sumedang yang bersifat ilmiah masih jarang.
            Seperti tercantum dalam acara seminar, saya diminta oleh panitia untuk meninjau Sejarah Sumedang dari perspektif akademis atau tepatnya dari segi metogologi sejarah. Namun dalam makalah ini yang akan dibicarakan bukan Sejarah Sumedang secara menyeluruh, melainkan beberapa permasalahan dalam Sejarah Sumedang yang menuntut pengkajian ulang demi kebenaran sejarah. Hal itu sesuai dengan salah satu tujuan seminar, yaitu ”merekonstruksi Sejarah Sumedang sehingga menjadi sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan bersama”.
            Oleh karena waktu pembicaraan dalam seminar sangat pendek, maka permasalahan dalam Sejarah Sumedang yang ditinjau dari segi akademis dibatasi pada beberapa permasalahan yang menyangkut sejarah kerajaan di Sumedang sampai berdirinya Kabupaten Sumedang.


TINJAUAN AKADMIS
            Berdasarkan zaman yang dilaluinya, Sejarah Sumedang terbagi atas zaman kerajaan, zaman penjajahan, dan zaman kemerdekaan. Dari segi pemerintahan, Sejarah Sumedang terbagi atas zaman kerajaan dan zaman kabupaten
1.  Mengenai Kerajaan di Sumedang
            Menurut sumber tradisi, kerjaan pertama yang berdiri di wilayah yang sekarang bernama Sumedang adalah Kerajaan Témbongagung, dengan raja pertama Prabu Guru Aji Putih. Pusat kerajaan berlokasi di Ciguling (sekarang termasuk Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja). Selama eksistensinya, kerajaan itu diperintah secara berturut-turut oleh delapan orang raja. Namun masa pemerintahan setiap raja tidak disebutkan angka tahunnya.
            Pada masa pemerintahan raja ke-4 yaitu Ratu Rajamantri, Kerajaan Tembongagung menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Hal itu terjadi akibat Ratu Rajamantri menjadi istri raja Sunda. Disebutkan pula bahwa raja ke-8 Tembongagung adalah Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata. Ia menikah dengan Pangeran Santri, putra Pangeran Pamelekaran. Pada masa pemerintahan Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata yang dikenal dengan nama Ratu Pucuk Umum, pusat pemerintahan kerajaan pindah ke Kutamaya, dan nama kerajaan berubah menjadi Sumedang Larang.
            Data/keterangan tersebut mengandung arti bahwa menurut sumber tradisi, Kerajaan Tembongagung adalah cikal-bakal Kerajaan Sumedang Larang. Dengan kata lain, Kerajaan Sumedang Larang berasal dari Kerajaan Tembongagung. Namun beberapa sumber sejarah akurat menyatakan bahwa Kerajaan Sumedang Larang berdiri setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh tahun 1579/awal 1580 akibat islamisasi dari Kesultanan Banten. Kerajaan Sumedang Larang beribukota di Kutamaya. Raja pertamanya adalah Prabu Geusan Ulun, (1580-1608), putra Pangeran Santri.
            Geusan Ulun dinobatkan menjadi raja Sumedang Larang oleh empat bersaudara mantan panglima perang Kerajaan Sunda, antara lain Embah Jayaperkosa alias Sayang Hawu Embah Sayang Hawu. Sebagai tanda penobatan, kepada Geusan dipakaikan mahkota raja Sunda (Mahkota Binokasih) yang diselamatkan oleh empat bersaudara tersebut. Prabu Geusan Ulun memerintah tahun 1580-1608.
            Dengan demikian, menurut sumber sejarah akurat, Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Sunda.

2. Mengenai Pangeran Santri
            Mengenai Pangeran Santri, ayah Geusan Ulun, terdapat keterangan yang simpang-siur. Keterangan itu terbagi atas empat versi.
Versi pertama
Pangeran Santri adalah putra Pangeran Pamelekaran dari putri Prabu Linggawastu anak Prabu Linggahiang. Pangeran Pamelekaran adalah putra Pangeran Panjunan salah seorang putra Sunan Gunung Jati.
Versi kedua
Pangeran Santri adalah putra Pangeran Pamelekaran dari putri Sunan Gunung Jati bernama Nyai Mertasari. Namun Pangeran Pamelekaran bukan putra Pangeran Panjunan – seperti disebutkan dalam versi pertama – melainkan putra Raden Patah yang mendirikan Kerajaan Demak.
            Meskipun keterangan mengenai asal-usul ayah dan ibu Pangeran Santri berbeda, namun versi pertama dan kedua menunjukkan bahwa Pangeran Santri adalah keturunan Sunan Gunung Jati.
Versi ketiga
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis sekitar tahun 1720, menyatakan bahwa Pangeran Panjunan – menurut versi kesatu adalah ayah Pangeran Pamelekaran atau kakek Pangeran Santri – bukan putra Sunan Gunun Jati, melainkan putra sahabatnya bernama Syarif Abdurahman. Berarti, Pangeran Santri bukan keturunan Sunan Gunung Jati.
Versi keempat
Menyatakan bahwa Pangeran Santri adalah putra Pangeran Pamelekaran, namun Pangeran Pamelekaran bukan putra Pangeran Panjunan (versi kesatu) dan bukan pula putra Raden Patah (versi kedua), melainkan putra Aria Damar dari putri Cina. Aria Damar adalah putra Prabu Brawijaya salah seorang raja Majapahit. Pangeran Pamelekaran semula bernama Raden Kusen. Setelah menjadi salah seorang adipati di Majapahit, ia mendapat gelar Pangeran Pamelekaran. Keterangan ini mengandung arti, Pangeran Santri adalah keturunan Prabu Brawijaya.
            Versi mana yang benar?

3. Mengenai Perpindahan Ibukota Kerajaan
            Dalam sebuah tulisan Sejarah Sumedang disebutkan bahwa Geusan Ulun menindahkan ibukota Kerajaan Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemindahan ibukota itu terjadi akibat konflik antara pihak Sumedang Larang dengan pihak Cirebon. Dalam tulisan itu disebutkan, Geusan Ulun memperdalam agama Islam di Demak. Dalam perjalanan pulang ia singgah di Kesultanan Cirebon, kemudian ia membawa Ratu Harisbaya selir Sultan Cirebon Panembahan Ratu I ke Sumedang Larang. Konflik antara kedua pihak itu reda setelah Geusan Ulun menyerahkan daerah Sindangkasih (Majalengka sekarang) kepada Sultan Cirebon sebagai pengganti talaknya kepada Ratu Harisbaya.
            Pertanyaannya adalah, benarkah Geusan Ulun melarikan Ratu Harisbaya, atau Ratu Harisbaya yang minta dibawa oleh Geusan Ulun?
            Pemindahan ibukota kerajaan bahkan kabupaten khususnya pada abad-abad yang lampau, lazim terjadi. Namun pemindahan ibukota itu bukan karena satu faktor, melainkan oleh beberapa faktor, baik faktor langsung maupun tidak langsung. Pada abad ke-17 hingga abad ke-19, biasanya faktor utama yang menyebabkan terjadinya pemindahan ibukota adalah karena tempat itu lama kelamaan disadari oleh penguasa kurang/tidak memadai sebagai pusat pemerintahan. Zaman dulu, konflik yang dihadapi oleh suatu kerajaan atau kabupaten, tidak selalu menyebabkan berpindahnya pusat pemerintahan. Maka, bila dikatakan bahwa pemindahan ibukota Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur hanya akibat konflik dengan pihak Cirebon, kiranya terlalu naif.

4. Mengenai Radén Suriadiwangsa
            Ada tulisan yang menyatakan bahwa setelah Geusan Ulun wafat (1608), tahta kerajaan jatuh kepada putranya bernama Radén Suriadiwangsa. Pernyataan itu mengandung arti Radén Suriadiwangsa adalah putra kandung Geusan Ulun. Beberapa sumber tertulis yang cukup akurat menunjukkan, bahwa Radén Suriadiwangsa adalah anak tiri Geusan Ulun. Ketika Geusan Ulun menikah dengan Ratu Harisbaya, janda dari Sultan Cirebon Panembahan Ratu I, Ratu Harisbaya sedang hamil muda, mengandung anak dari sultan tersebut. Beberapa waktu kemudian Ratu Harisbaya melahirkan seorang putra yang diberi nama Radén Suriadiwangsa.

5. Menhgenai Hari Jadi Kabupaten
            Sudah diketahui secara umum, khususnya oleh masyarakat Sumedang, tanggal yang dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang sampai saat ini adalah 22 April yang mengacu pada tahun 1578. Berarti berdirinya Kabupaten Sumedang mendahului Kerajaan Sumedang Larang yang berdiri tahun 1580, dan berarti pula Kabupaten Sumedang berdiri sebelum Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh (1579/1580). Fakta sejarah menunjukkan Kabupaten Sumedang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Sumedang Larang.
            Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Radén Suriadiwangsa, Sumedang Larang menjadi incaran tiga kekuatan, yaitu Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten,[1] dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Ketiga kekuatan itu ingin menguasai daerah Sumedang Larang. Hal itu sangat meresahkan Radén Suriadiwangsa, karena Sumedang Larang tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk menghadapi ketiga kekuatan tersebut. Akhirnya Radén Suriadiwangsa memutuskan untuk berserah diri kepada raja Mataram, Sultan Agung. Peristiwa itu terjadi tahun 1620. Alasan utamanya adalah karena ia memiliki hubungan keluarga dengan penguasa Mataram. Ibu Radén Suriadiwangsa, yaitu Ratu Harisbaya adalah anggota keluarga Kerajaan Mataram.
            Sejak Radén Suriadiwangsa berserah diri kepada penguasa Mataram, status Sumedang Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Wilayah bekas kekuasaan Sumedang Larang kemudian disebut Priangan. Bahwa Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten Sumedang, ditandai oleh tindakan Sultan Agung mengangkat Radén Suriadiwangsa menjadi Bupati Sumedang merangkap sebagai Bupati Wedana Priangan, dalam arti kepala atau kordinator kepala-kepala daerah di Priangan yang semula berada di bawah kekuasaan Sumedang Larang. Dalam kedudukan itu Radén Suriadiwangsa mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I). Peristiwa itu memiliki dua arti. Pertama, eksistensi Kerajaan Sumedang Larang berakhir tahun 1620. Kedua, dari segi metodologi sejarah, tahun 1620 merupakan fakta sejarah kuat yang menunjukkan berdirinya Kabupaten Sumedang. Berarti, anggapan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang tidak sesuai dengan fakta sejarah berdirinya kabupaten tersebut. Oleh karena itu, Hari Jadi Kabupaten Sumedang[2] harus diganti demi kebenaran sejarah.


PENUTUP
1. Simpulan
            Dari segi metodologi sejarah, permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan adanya tulisan-tulisan Sejarah Sumedang yang mengandung kelemahan, bahkan kesalahan. Namun kelemahan atau kesalahan itu terkesan tidak diketahui oleh warga masyarakat pada umumnya. Boleh jadi hal itu disebabkan warga masyarakat kita umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah.
            Jika kesalahan dalam tulisan sejarah dibiarkan, akan mengakibatkan terjadi salah kaprah berkepanjangan, sehingga generasi penerus akan mewarisi sejarah yang salah. Jika tulisan sejarah yang banyak mengandung kesalahan dijadikan bahan pelajaran, maka para siswa pun akan mendapat pengetahuan sejarah yang salah.
            Kelemahan atau kesalahan dalam penulisan sejarah memang biasa terjadi. Faktor mendasar yang menyebabkan terjadinya kelemahan atau kesalahan dalam penulisan sejarah adalah penelitian sumber dan penulisan hasil penelitian tidak/kurang dilandasi oleh metode sejarah. Hal itu mengakibatkan, penelitian sumber tidak tuntas dan sumber yang diperoleh pun tidak diseleksi, mana sumber akurat dan mana sumber tidak akurat. Akibatnya, data yang diperlukan banyak yang tidak diperoleh. Data yang diperoleh pun terdapat data yang lemah. Akibat data yang lemah, interpretasi terhadap data pun lemah, sehingga terjadi kesalahan verifikasi (pembuktian).
            Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sebaiknya Sejarah Sumedang ditulis/direkonstruksi ulang secara komprehensif, sekaligus ”meluruskan” Hari Jadi Kabupaten Sumedang. Penelitian dan penulisannya dilakukan secara bertahap, karena Sejarah Sumedang mencakup kurun waktu sangat panjang. Pelaksanaan penelitian dan penulisan dilakukan oleh sejarawan profesional yang benar-benar menguasai metode sejarah.
            Oleh karena tanggal 22 April 1578 jelas bukan fakta sejarah berdirinya Kabupaten Sumedang, maka Pemda/DPRD Kabupaten Sumedang hendaknya berlapang dada untuk mencabut atau menggugurkan Perda penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang. Kemudian dicari tanggal yang tepat atau memadai sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang atau Hari Jadi Sumedang.



š s



Bandung, 26 Juni 2012

SUMBER ACUAN
(Selektif)



Ekadjati, Edi S. dan Raksakusumah, Said. 1978.
            Babad Sumedang. Bandung: Unpad.
de Haan, F. 1910.
            Priangan; De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot        1811. 1ste deel. Batavia: BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2004.
            ”Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-17 – Abad     ke-19”. Sundalana, 3: 9-65.
-------- et al. 2005.
            Sejarah Sumedang Untuk Sekolah Lanjutan. Sumedang: Dinas Kebudayaan             dan Pariwisata Kabupaten Sumedang.
Lubis, Nina H. et al. 2000.
            Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor: Alqaprint.
Surianingrat, Bayu. 1983.
            Sejarah Kabupaten I Bhumi Sumedang (1550-1950). Tt.: Tp.
Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961.
            Tina Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna   Karadjaan Padjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kalawarta Kudjang.



*) Guru Besar Ilmu Sejarah di FIB Unpad dan Unigal.
                [1] Kerajaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung tahun 1613-1645, Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1596-1651.
                [2] Masalah Hari Jadi Kabupaten Sumedang telah saya tulis dan diekspos dalam koran Pikiran Rakyat tanggal 22 April 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar