PERMASALAHAN DALAM SEJARAH SUMEDANG
TINJAUAN AKADEMIS
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra*)
PENDAHULUAN
Dalam
Ilmu Sejarah, pengertian sejarah terbagai atas dua kategori. Pertama,
sejarah sebagai peristiwa, yaitu peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya di
masa lampau (history as past actuality).
Kedua, sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagaimana dikisahkan
secara tertulis (history as written).
Pengkisahan
sejarah secara tertulis terbagi atas tiga sifat atau jenis, yaitu sejarah
populer, sejarah ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah.
Sejarah populer adalah kisah sejarah
secara tertulis yang hanya berdasarkan sumber-sumber
tradisional (babad atau naskah dan cerita rakyat).
Sejarah ilmiah-populer (semi ilmiah) adalah
kisah sejarah tertulis berdasarkan sumber
sejarah akurat dan sumber tradisional, termasuk cerita rakyat.
Sejarah ilmiah adalah kisah sejarah
tertulis berdasarkan sumber-sumber sejarah akurat
(sumber primer dan sekunder) hasil kritik sumber, sehingga diperoleh fakta sejarah.
Tulisan-tulisan
tetang Sejarah Sumedang yang telah ada sebagian besar adalah tulisan yang
termasuk kategori sejarah populer dan sejarah ilmiah-populer. Sejarah Sumedang
bersifat populer dan ilmiah-populer itulah yang diketahui/dipahami oleh warga
masyarakat pada umumnya. Sementara, sejarah Sumedang yang bersifat ilmiah masih
jarang.
Seperti
tercantum dalam acara seminar, saya diminta oleh panitia untuk meninjau Sejarah
Sumedang dari perspektif akademis atau tepatnya dari segi metogologi sejarah.
Namun dalam makalah ini yang akan dibicarakan bukan Sejarah Sumedang secara
menyeluruh, melainkan beberapa permasalahan dalam Sejarah Sumedang yang
menuntut pengkajian ulang demi kebenaran sejarah. Hal itu sesuai dengan salah
satu tujuan seminar, yaitu ”merekonstruksi Sejarah Sumedang sehingga menjadi
sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan bersama”.
Oleh
karena waktu pembicaraan dalam seminar sangat pendek, maka permasalahan dalam
Sejarah Sumedang yang ditinjau dari segi akademis dibatasi pada beberapa
permasalahan yang menyangkut sejarah kerajaan di Sumedang sampai berdirinya
Kabupaten Sumedang.
TINJAUAN AKADMIS
Berdasarkan
zaman yang dilaluinya, Sejarah Sumedang terbagi atas zaman kerajaan, zaman
penjajahan, dan zaman kemerdekaan. Dari segi pemerintahan, Sejarah Sumedang
terbagi atas zaman kerajaan dan zaman kabupaten
1. Mengenai Kerajaan
di Sumedang
Menurut
sumber tradisi, kerjaan pertama yang berdiri di wilayah yang sekarang bernama
Sumedang adalah Kerajaan Témbongagung, dengan raja pertama Prabu Guru Aji
Putih. Pusat kerajaan berlokasi di Ciguling (sekarang termasuk Desa
Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja). Selama eksistensinya, kerajaan itu
diperintah secara berturut-turut oleh delapan orang raja. Namun masa
pemerintahan setiap raja tidak disebutkan angka tahunnya.
Pada masa pemerintahan raja ke-4 yaitu Ratu
Rajamantri, Kerajaan Tembongagung menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Hal itu
terjadi akibat Ratu Rajamantri menjadi istri raja Sunda. Disebutkan pula bahwa
raja ke-8 Tembongagung adalah Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata. Ia menikah dengan
Pangeran Santri, putra Pangeran Pamelekaran. Pada masa pemerintahan Nyimas Ratu
Dewi Inten Dewata yang dikenal dengan nama Ratu Pucuk Umum, pusat pemerintahan
kerajaan pindah ke Kutamaya, dan nama kerajaan berubah menjadi Sumedang Larang.
Data/keterangan
tersebut mengandung arti bahwa menurut sumber tradisi, Kerajaan Tembongagung
adalah cikal-bakal Kerajaan Sumedang Larang. Dengan kata lain, Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari Kerajaan Tembongagung. Namun beberapa sumber
sejarah akurat menyatakan bahwa Kerajaan Sumedang Larang berdiri setelah
Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh tahun 1579/awal 1580 akibat islamisasi dari
Kesultanan Banten. Kerajaan Sumedang Larang beribukota di Kutamaya. Raja pertamanya adalah Prabu Geusan Ulun,
(1580-1608), putra Pangeran Santri.
Geusan
Ulun dinobatkan menjadi raja Sumedang Larang oleh empat bersaudara mantan
panglima perang Kerajaan Sunda, antara lain Embah Jayaperkosa alias Sayang Hawu
Embah Sayang Hawu. Sebagai tanda penobatan, kepada Geusan dipakaikan mahkota
raja Sunda (Mahkota Binokasih) yang diselamatkan oleh empat bersaudara
tersebut. Prabu Geusan Ulun memerintah tahun 1580-1608.
Dengan
demikian, menurut sumber sejarah akurat, Kerajaan Sumedang Larang merupakan
penerus Kerajaan Sunda.
2. Mengenai Pangeran Santri
Mengenai
Pangeran Santri, ayah Geusan Ulun, terdapat keterangan yang simpang-siur. Keterangan
itu terbagi atas empat versi.
Versi pertama
Pangeran Santri adalah putra Pangeran
Pamelekaran dari putri Prabu Linggawastu anak Prabu Linggahiang. Pangeran
Pamelekaran adalah putra Pangeran Panjunan salah seorang putra Sunan Gunung
Jati.
Versi kedua
Pangeran Santri adalah putra Pangeran
Pamelekaran dari putri Sunan Gunung Jati bernama Nyai Mertasari. Namun Pangeran
Pamelekaran bukan putra Pangeran Panjunan – seperti disebutkan dalam versi
pertama – melainkan putra Raden Patah yang mendirikan Kerajaan Demak.
Meskipun
keterangan mengenai asal-usul ayah dan ibu Pangeran Santri berbeda, namun versi
pertama dan kedua menunjukkan bahwa Pangeran Santri adalah keturunan Sunan
Gunung Jati.
Versi ketiga
Naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari yang ditulis sekitar tahun 1720, menyatakan bahwa
Pangeran Panjunan – menurut versi kesatu adalah ayah Pangeran Pamelekaran atau
kakek Pangeran Santri – bukan putra Sunan Gunun Jati, melainkan putra
sahabatnya bernama Syarif Abdurahman. Berarti, Pangeran Santri bukan keturunan
Sunan Gunung Jati.
Versi keempat
Menyatakan bahwa Pangeran Santri adalah
putra Pangeran Pamelekaran, namun Pangeran Pamelekaran bukan putra Pangeran
Panjunan (versi kesatu) dan bukan pula putra Raden Patah (versi kedua),
melainkan putra Aria Damar dari putri Cina. Aria Damar adalah putra Prabu
Brawijaya salah seorang raja Majapahit. Pangeran Pamelekaran semula bernama
Raden Kusen. Setelah menjadi salah seorang adipati di Majapahit, ia mendapat
gelar Pangeran Pamelekaran. Keterangan ini mengandung arti, Pangeran Santri
adalah keturunan Prabu Brawijaya.
Versi
mana yang benar?
3. Mengenai Perpindahan Ibukota Kerajaan
Dalam
sebuah tulisan Sejarah Sumedang disebutkan bahwa Geusan Ulun menindahkan
ibukota Kerajaan Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemindahan
ibukota itu terjadi akibat konflik antara pihak Sumedang Larang dengan pihak
Cirebon. Dalam tulisan itu disebutkan, Geusan Ulun memperdalam agama Islam di
Demak. Dalam perjalanan pulang ia singgah di Kesultanan Cirebon, kemudian ia
membawa Ratu Harisbaya selir Sultan Cirebon Panembahan Ratu I ke Sumedang
Larang. Konflik antara kedua pihak itu reda setelah Geusan Ulun menyerahkan
daerah Sindangkasih (Majalengka sekarang) kepada Sultan Cirebon sebagai
pengganti talaknya kepada Ratu Harisbaya.
Pertanyaannya
adalah, benarkah Geusan Ulun melarikan Ratu Harisbaya, atau Ratu Harisbaya yang
minta dibawa oleh Geusan Ulun?
Pemindahan
ibukota kerajaan bahkan kabupaten khususnya pada abad-abad yang lampau, lazim
terjadi. Namun pemindahan ibukota itu bukan karena satu faktor, melainkan oleh
beberapa faktor, baik faktor langsung maupun tidak langsung. Pada abad ke-17
hingga abad ke-19, biasanya faktor utama yang menyebabkan terjadinya pemindahan
ibukota adalah karena tempat itu lama kelamaan disadari oleh penguasa
kurang/tidak memadai sebagai pusat pemerintahan. Zaman dulu, konflik yang
dihadapi oleh suatu kerajaan atau kabupaten, tidak selalu menyebabkan
berpindahnya pusat pemerintahan. Maka, bila dikatakan bahwa pemindahan ibukota
Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur hanya akibat konflik dengan pihak
Cirebon, kiranya terlalu naif.
4. Mengenai Radén Suriadiwangsa
Ada
tulisan yang menyatakan bahwa setelah Geusan Ulun wafat (1608), tahta kerajaan
jatuh kepada putranya bernama Radén Suriadiwangsa. Pernyataan itu mengandung arti
Radén Suriadiwangsa adalah putra kandung Geusan Ulun. Beberapa sumber tertulis
yang cukup akurat menunjukkan, bahwa Radén Suriadiwangsa adalah anak tiri
Geusan Ulun. Ketika Geusan Ulun menikah dengan Ratu Harisbaya, janda dari Sultan
Cirebon Panembahan Ratu I, Ratu Harisbaya sedang hamil muda, mengandung anak
dari sultan tersebut. Beberapa waktu kemudian Ratu Harisbaya melahirkan seorang
putra yang diberi nama Radén Suriadiwangsa.
5. Menhgenai Hari Jadi Kabupaten
Sudah
diketahui secara umum, khususnya oleh masyarakat Sumedang, tanggal yang
dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang sampai saat ini adalah 22 April
yang mengacu pada tahun 1578. Berarti berdirinya Kabupaten Sumedang mendahului
Kerajaan Sumedang Larang yang berdiri tahun 1580, dan berarti pula Kabupaten
Sumedang berdiri sebelum Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh (1579/1580). Fakta
sejarah menunjukkan Kabupaten Sumedang merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Sumedang Larang.
Ketika
Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Radén Suriadiwangsa, Sumedang Larang
menjadi incaran tiga kekuatan, yaitu Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten,[1]
dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Ketiga kekuatan itu ingin menguasai
daerah Sumedang Larang. Hal itu sangat meresahkan Radén Suriadiwangsa, karena
Sumedang Larang tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk menghadapi ketiga
kekuatan tersebut. Akhirnya Radén Suriadiwangsa memutuskan untuk berserah diri
kepada raja Mataram, Sultan Agung. Peristiwa itu terjadi tahun 1620. Alasan
utamanya adalah karena ia memiliki hubungan keluarga dengan penguasa Mataram. Ibu
Radén Suriadiwangsa, yaitu Ratu Harisbaya adalah anggota keluarga Kerajaan
Mataram.
Sejak
Radén Suriadiwangsa berserah diri kepada penguasa Mataram, status Sumedang
Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Wilayah bekas kekuasaan Sumedang Larang
kemudian disebut Priangan. Bahwa Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten
Sumedang, ditandai oleh tindakan Sultan Agung mengangkat Radén Suriadiwangsa
menjadi Bupati Sumedang merangkap sebagai Bupati Wedana Priangan, dalam arti
kepala atau kordinator kepala-kepala daerah di Priangan yang semula berada di
bawah kekuasaan Sumedang Larang. Dalam kedudukan itu Radén Suriadiwangsa
mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I). Peristiwa
itu memiliki dua arti. Pertama, eksistensi Kerajaan Sumedang Larang
berakhir tahun 1620. Kedua, dari segi metodologi sejarah, tahun 1620 merupakan fakta sejarah kuat
yang menunjukkan berdirinya Kabupaten Sumedang. Berarti, anggapan tanggal
22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang tidak sesuai dengan fakta
sejarah berdirinya kabupaten tersebut. Oleh karena itu, Hari Jadi Kabupaten
Sumedang[2]
harus diganti demi kebenaran sejarah.
PENUTUP
1. Simpulan
Dari
segi metodologi sejarah, permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan adanya tulisan-tulisan
Sejarah Sumedang yang mengandung kelemahan, bahkan kesalahan. Namun kelemahan
atau kesalahan itu terkesan tidak diketahui oleh warga masyarakat pada umumnya.
Boleh jadi hal itu disebabkan warga masyarakat kita umumnya kurang memiliki
kesadaran sejarah.
Jika
kesalahan dalam tulisan sejarah dibiarkan, akan mengakibatkan terjadi salah
kaprah berkepanjangan, sehingga generasi penerus akan mewarisi sejarah yang
salah. Jika tulisan sejarah yang banyak mengandung kesalahan dijadikan bahan
pelajaran, maka para siswa pun akan mendapat pengetahuan sejarah yang salah.
Kelemahan
atau kesalahan dalam penulisan sejarah memang biasa terjadi. Faktor mendasar
yang menyebabkan terjadinya kelemahan atau kesalahan dalam penulisan sejarah
adalah penelitian sumber dan penulisan hasil penelitian tidak/kurang dilandasi
oleh metode sejarah. Hal itu mengakibatkan, penelitian sumber tidak tuntas dan
sumber yang diperoleh pun tidak diseleksi, mana sumber akurat dan mana sumber
tidak akurat. Akibatnya, data yang diperlukan banyak yang tidak diperoleh. Data
yang diperoleh pun terdapat data yang lemah. Akibat data yang lemah,
interpretasi terhadap data pun lemah, sehingga terjadi kesalahan verifikasi
(pembuktian).
Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka sebaiknya Sejarah Sumedang ditulis/direkonstruksi ulang
secara komprehensif, sekaligus ”meluruskan” Hari Jadi Kabupaten Sumedang. Penelitian
dan penulisannya dilakukan secara bertahap, karena Sejarah Sumedang mencakup
kurun waktu sangat panjang. Pelaksanaan penelitian dan penulisan dilakukan oleh
sejarawan profesional yang benar-benar menguasai metode sejarah.
Oleh
karena tanggal 22 April 1578 jelas bukan fakta sejarah berdirinya Kabupaten
Sumedang, maka Pemda/DPRD Kabupaten Sumedang hendaknya berlapang dada untuk
mencabut atau menggugurkan Perda penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Jadi
Kabupaten Sumedang. Kemudian dicari tanggal yang tepat atau memadai sebagai
Hari Jadi Kabupaten Sumedang atau Hari Jadi Sumedang.
s
Bandung, 26 Juni 2012
SUMBER
ACUAN
(Selektif)
Ekadjati, Edi S. dan Raksakusumah, Said. 1978.
Babad
Sumedang. Bandung: Unpad.
de Haan, F. 1910.
Priangan; De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot
1811.
1ste deel. Batavia: BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2004.
”Bupati di Priangan;
Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-17 – Abad ke-19”. Sundalana, 3:
9-65.
-------- et al. 2005.
Sejarah Sumedang Untuk Sekolah Lanjutan. Sumedang: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sumedang.
Lubis, Nina H. et al. 2000.
Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor: Alqaprint.
Surianingrat, Bayu. 1983.
Sejarah Kabupaten I Bhumi Sumedang (1550-1950). Tt.: Tp.
Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961.
Tina Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan
Padjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kalawarta Kudjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar