HARI JADI KABUPATEN BANDUNG
PERLU DIKAJI ULANG
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Oleh: A. Sobana
Hardjasaputra, S.S., M.A.
Seperti
diberitakan dalam koran ini (PR, 20
Februari 2007), Mahanagari dan Distributor Buku Lawang bekerjasama dengan
Universitas Padjadjaran (Unpad), menyelenggarakan takshow dengan tema "Awal Mula Bandung dan Kontroversi Dipati
Ukur". Acara itu dilaksanakan tanggal 19 Februari yang lalu bertempat di
kampus Unpad Jalan Dipati Ukur.
Dalam
acara tersebut, saya sebagai salah seorang pembicara utama menjelaskan hubungan
Dipati Ukur dengan berdirinya Kabupaten Bandung, bahwa Kabupaten Bandung – juga
Kabupaten Sukapura dan Parakanmuncang – dibentuk oleh Sultan Agung raja Mataram
(1613-1645), sebagai akibat terjadinya pemberontakan Dipati Ukur terhadap
Mataram. Perlu dikemukakan, beberapa sumber menyatakan bahwa pihak yang lebih
agresif menyerang justru pihak Mataram, bukan pihak Dipati Ukur.
Pembentukan
ketiga kabupaten tersebut dinyatakan dalam Piagem bertanggal 9
Muharam taun Alip (bukan tanggal pemberontakan Dipati Ukur, seperti
dinyatakan dalam PR, 20 Februari
2007). Pembentukan Kabupaten Sukapura dinyatakan pula dalam Piagem
bertanggal 9 Muharam taun Jimakhir. Berarti tanggal 9 Muharam taun
Alip adalah fakta hari jadi Kabupaten Bandung, karena piagem itu ditulis pada zamannya, sehingga merupakan sumber akurat.
Penafsiran terhadap
tanggal 9 Muharam taun Alip terdapat dua versi, yaitu 20 April 1641 dan
16 Juli 1633. Di antara peserta takshow
ada yang bertanya, tanggal penafsiran mana yang benar?
Kedua
tanggal tafsiran itu boleh jadi
benar, karena penanggalan Jawa-Islam memiliki siklus waktu yang disebut windu/sawindu
(siklus delapan tahunan), dengan urutan nama tahun : Alip, Ehe, Jimawal, Je,
Dal, Be, Wau, dan Jimakhir. Menurut Volks Almanak Soenda (1922),
perhitungan tahun Jawa disatukan dengan perhitungan tahun Islam yang memiliki
siklus windu, terjadi mulai tahun 1633.
Berdasarkan keterangan
tersebut, berarti tahun 1633 adalah tahun Alip pertama dan tahun 1641 adalah
tahun Alip kedua. Permasalahannya adalah, tanggal tafsiran mana yang lebih
tepat atau memadai sebagai hari jadi Kabupaten Bandung. Tanggal 20 April 1641
atau tanggal 16 Juli 1633?
Dalam menetapkan tanggal
hari jadi kabupaten seperti kasus Kabupaten Bandung, pemilihan tanggal
penafsiran itu harus relevan dengan konteks permasalahannya, karena sejarah
adalah suatu proses yang menyangkut masalah kausalitas atau keterkaitan antara
satu peristiwa dengan peristiwa lain. Dalam hal ini perlu dipahami benar, apa
faktor utama yang menyebabkan atau mendorong dibentuknya Kabupaten Bandung.
Sultan Agung memecah
wilayah Priangan – di luar Sumedang dan Galuh – menjadi tiga kabupaten (Bandung, Sukapura, dan
Parakanmuncang) dengan tujuan agar di wilayah itu tidak terjadi lagi
pemberontakan atau gerakan seperti yang dilakukan oleh Dipati Ukur.
Pertimbangannya – yang utama – adalah, pertama, karena pengaruh Dipati
Ukur terhadap pengikutnya yang berjumlah banyak, sangat kuat. Waktu itu wilayah
kekuasaan Dipati Ukur bukan hanya Priangan, tetapi mencakup pula daerah Ciasem,
Pamanukan dan lain-lain. Kedua, pihak Mataram sulit mengontrol wilayah
Priangan. Hal itu disebabkan jarak yang jauh antara Priangan dengan pusat
Mataram, sedangkan waktu itu belum ada prasarana dan sarana transportasi yang
memadai. Itulah sebabnya, pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dalam waktu
cukup lama (1628 – 1631/1632).
Bila permasalahan
tersebut dihubungkan dengan tanggal 20 April 1641 yang dianggap sebagai hari
jadi Kabupaten Bandung, baik dari segi metodologis maupun secara rasional, pemilihan
tanggal tersebut tidak logis. Pemilihan tanggal 20 April 1641 mengandung arti
Kabupaten Bandung
baru dibentuk lebih-kurang 9 tahun setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir.
Dengan kata lain, pemilihan tanggal tersebut terlalu jauh dari momentum
jatuhnya kekuasaan Dipati Ukur, yaitu akhir 1631/awal 1632.
Sebaliknya, tanggal 16
Juli 1633 sangat logis bila dipilih sebagai hari jadi Kabupaten Bandung. Sangat
masuk akal bila Sultan Agung memecah wilayah Priangan dengan tujuan tersebut di
atas, beberapa bulan (kurang dari satu tahun) setelah berakhirnya pemberontakan
Dipati Ukur.
Oleh karena itu, sungguh
bijaksana apabila pemerintah dan DPRD Kabupaten Bandung mengubah tanggal hari
jadi kabupaten, demi kebenaran sejarah. Kiranya perubahan tanggal hari jadi itu
masih sejalan dengan pernyataan Bupati Bandung H. Obar Sobarna, S.Ip. lebih-kurang
tiga tahun yang lalu, bahwa di Kabupaten Bandung sedang dilakukan pembenahan
dalam berbagai aspek atau bidang. Pembenahan itu dilakukan berdasarkan visi dan
misi yang telah ditentukan (PR, 22 April 2003). Secara implisit misi itu mencakup
aspek fisik dan non-fisik yang perlu dibenahi. Dalam hal ini, masalah tanggal
hari jadi kabupaten termasuk aspek non-fisik. Bila pilihan tanggal itu ternyata
salah, wajib dibetulkan.
Mudah-mudahan Kabupaten Bandung
menjadi pelopor di antara sejumlah kabupaten yang tanggal hari jadinya ternyata
juga salah. Seperti pernah dikemukakan dalam koran ini beberapa waktu yang
lalu, kabupaten-kabupaten di Jawa Barat, selain Bandung, yang tanggal hari
jadinya salah antara lain Bogor, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis,
Kuningan, dan Indramayu.
Meskipun penetapan tanggal hari jadi kabupaten-kabupaten tersebut telah
dikukuhkan dalam Perda (Peratutan Daerah), tidak berarti – maaf, bukan
menggurui – ketetapan itu tidak dapat diubah. Merevisi atau menulis ulang
masalah sejarah bukan hal yang tabu, melainkan keharusan. Selain demi kebenaran
sejarah, pembetulan tanggal hari jadi juga penting, agar tidak mewariskan
sejarah yang salah kepada generasi penerus.
Dirgahayu lima windu Pikiran Rakyat! Semoga makin jaya.
Bandung, 4 Maret 2007
Penulis: Sejarawan
senior Fakultas Sastra
Unpad
dan FKIP Unigal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar