BUKU SEJARAH INDRAMAYU (1977)
TANGGAPAN DARI SEGI METODOLOGI
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pendahuluan
Keberadaan
buku Sejarah Indramayu atas prakarsa Pemerintah Kabupaten Indramayu, menunjukkan
adanya kesadaran akan pentingnya sejarah, khususnya sejarah daerah. Dalam hal
ini, sejujurnya saya mengucapkan salut akan hal itu, karena bangsa Indonesia
umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Penelitian beberapa waktu yang lalu
menghasilkan kesimpulan, bahwa di antara bangsa-bangsa di Asia, bangsa
Indonesia umumnya termasuk bangsa yang kesadaran akan sejarahnya, lemah.
Pemahaman akan sejarah penting
artinya, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat, karena sejarah mengandung
pelajaran menyangkut kebijakan, kearifan, moral, politik, dan lain-lain. Pentingnya
arti sejarah, disadari atau pun tidak, sebenarnya sudah dipahami secara umum. Hal
itu tercermin dari ungkapan : "Belajarlah dari sejarah",
"Sejarah adalah obor kebenaran", "Sejarah pedoman untuk membangun
masa depan", dan lain-lain. Atas dasar itulah, Bung Karno (almarhum)
berpesan : "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" ("Jas Merah").
Dalam budaya Sunda, pentingnya arti sejarah (sebagai peristiwa) biasa dijadikan
nasehat : "Kudu ngeunteung ka nu
enggeus, nyonto ka nu bareto, diajar tina pangalaman, pikeun nyanghareupan kiwari jeung nyawang nu
bakal datang". Memahami hal-hal yang sudah terjadi dengan arif,
penting artinya untuk menghadapi kehidupan masa kini dan memprediksi kehidupan
di masa mendatang.
Oleh karena itu peristiwa
sejarah harus ditulis (direkonstruksi) dengan baik dan benar, agar tidak
terjadi salah pemahaman akan hal-hal tertentu dalam sejarah. Kalaupun dalam
penulisan sejarah mengandung unsur subyektif dari penulis, sifat subyektif itu
harus subyektif rasional, bukan subyektif emosional.
Kesalahan atau kelemahan dalam
penulisan sejarah memang lumrah terjadi. Biasanya faktor mendasar yang menjadi
penyebab adalah ketidak-tuntasan menemukan sumber atau kesalahan penggunaan
sumber, sehingga verifikasi (pembuktian) atau interpretasi mengenai hal
tertentu pun menjadi salah. Oleh karena itu, tulisan sejarah ada kalanya
direvisi, bahkan ditulis ulang. Revisi atau penulisan ulang sejarah wajib
dilakukan apabila ditemukan sumber yang memuat fakta baru dan/atau munculnya
interpretasi baru mengenai suatu hal yang telah dikemukakan dalam tulisan
terdahulu.
Saya kira, atas dasar itu pula,
para pemerhati sejarah di Indramayu merasa perlu untuk mengkaji buku Sejarah Indramayu, sehingga seminar
membahas buku tersebut bertema "Rekonstruksi Pemikiran dan Penafsiran
Sejarah Indramayu". Dalam seminar ini, -- seperti tertulis dalam agenda
seminar – saya mendapat kepercayaan dari panitia untuk membahas buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3 tahun
1977, khususnya Bab V. Bab ini berjudul "Kedatangan Wiralodra di Indramayu",
yang isinya antara lain mencakup uraian lahirnya nama Indramayu (subbab 5.5).
Panitia menegaskan bahwa
tujuan seminar adalah "merekonstruksi pemikiran dan penafsiran terhadap
buku tersebut di atas, dan memberikan wacana kritis atas fenomena dan dinamika
dari 'dampak sejarah' pada bidang sosial, politik, dan budaya yang berkembang
di masyarakat". Sejalan dengan hal itu, panitia juga menegaskan, bahwa
"forum seminar diharapkan mampu memberikan pikiran dan wacana dari
berbagai perspektif. Tidak hanya penulisan secara 'tradisional', tetapi juga berdasarkan
ilmu sejarah".
Mengacu
pada tujuan seminar, berarti buku Sejarah
Indramayu harus dibahas atau ditanggapi dari segi metodologi dalam ilmu
sejarah. Tegasnya, hal-hal yang harus ditanggapi dalam buku tersebut adalah bagian-bagian
yang menjadi obyek telaah metode sejarah. Bagian-bagian dimaksud terutama menyangkut
masalah berikut :
ö
isi
uraian dan keakuratan fakta;
ö sistematika
dan sifat uraian;
ö konsistensi
dan masalah sumber.
Dengan demikian, tanggapan itu tentu banyak bernada
mengkritisi hal-hal tersebut. Namun harap dipahami, bahwa kritik itu bukan
bermaksud melecehkan (mendeskreditkan) tim penulis buku atau menggurui siapapun,
karena kritik itu bersifat kritik konstruktif untuk kepentingan revisi atau penulisan
sejarah.
Dari segi metode sejarah,
secara garis besar tulisan sejarah terbagi atas dua kategori. Pertama, tulisan
sejarah ilmiah; kedua, tulisan sejarah populer, termasuk semi-ilmiah
populer. Penulisan sejarah ilmiah, mulai pencarian dan pengumpulan
sumber (heuristik), seleksi sumber (kritik intern dan ekstern),
pengolahan data dan seleksi fakta hasil interpretasi,
sampai dengan proses penulisan (historiografi),
dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah metode sejarah. Tulisan sejarah ilmiah
memiliki ciri-ciri keilmiahan yang antara lain ditunjukkan oleh sistematika
uraian (kronologis-diakronis); sifat uraian deskriptif-analisis; menunjukkan
aspek kausalitas (sebab-akibat) sebagai "hukum sejarah", sehingga diperoleh
kejelasan (eksplanasi) sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa. Mengapa
peristiwa atau masalah itu terjadi? Apabila kegiatan dalam proses penulisan
sejarah ilmiah hanya dilakukan sebagian, sehingga tulisan sejarah yang
dihasilkan hanya memiliki sebagian dari ciri-ciri sejarah ilmiah, maka tulisan
itu termasuk ke dalam kategori semi-ilmiah populer.
Penulisan sejarah populer,
yang umumnya dilakukan oleh "sejarawan amatir", biasanya kegiatan
dalam proses penulisan tidak/kurang memperhatikan kaidah-kaidah metode sejarah.
Dalam penulisan sejarah populer, biasanya kritik sumber dan seleksi data/fakta
tidak dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak sepenuhnya berdasarkan kaidah metode
sejarah. Demikian pula dalam proses penulisannya, penulisan sejarah populer umumnya
tidak memperhatikan ciri-ciri tulisan sejarah ilmiah atau ciri-ciri sejarah
sebagai ilmu.
Oleh karena itu, dalam tulisan
sejarah populer biasanya campuraduk antara mitos/dongeng dengan sejarah. Tidak
dibedakan secara tegas, mana mitos/ dongeng dan mana sejarah. Dalam hal ini
perlu dikemukakan, bila keterangan atau uraian tentang suatu hal tidak
dijelaskan bahwa itu mitos/dongeng, dampaknya akan menyesatkan pengetahuan
pembaca, sehingga pembaca akan memiliki pemahaman yang salah mengenai peristiwa
atau masalah yang diceriterakan dalam tulisan.
Hal-hal itulah yang menjadi
landasan dalam menanggapi buku sejarah yang menjadi obyek bahasan dalam
seminar.
Tanggapan Umum
Telah
disebutkan, bahwa "forum seminar diharapkan mampu memberikan pemikiran dan
wacana dari berbagai perspektif." Atas dasar itu, sebelum menanggapi
uraian Bab V dalam buku yang dibahas, kiranya tidak berlebihan apabila terlebih
dahulu disampaikan tanggapan umum, sebagai tambahan sumbangsih pemikiran,
sesuai dengan tujuan seminar.
Dari
segi sumber yang digunakan dan sistem penunjukkan sumber acuan dalam uraian (footnote), buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3 tahun 1977, pada dasarnya termasuk
ke dalam kategori tulisan semi-ilmiah populer. Dikatakan demikian, karena
penulisan buku tersebut, selain menggunakan babad sebagai sumber acuan, juga
menggunakan sejumlah buku sejarah hasil penelitian. Namun uraian isi buku
tersebut ternyata bukan sepenuhnya sejarah, tetapi gabungan "sejarah"
dan budaya (Bab XII: Upacara tradisional dan Bab XIII: Volklore). Dengan
demikian, seharusnya buku itu berjudul "Sejarah dan Budaya
Indramayu".
Terkesan penggunaan sumber babad tidak lebih dahulu dikaji dari segi
filologi. Cerita dalam babad hanya disadur. Oleh karena itu, uraian isi buku
campuraduk antara dongeng/mitos dengan sejarah. Babad tidak dapat langsung
dijadikan sumber penulisan sejarah, tanpa terlebih dahulu dikaji oleh metode
filologi.
Dalam uraian yang kental bersifat sejarah (Bab VI s.d Bab XI), di
sana-sini terdapat ketidakakuratan fakta. Contoh, disebutkan bahwa
"Daendels datang ke Indonesia
sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1806" (hal. 193). "Daendels
memulai pekerjaannya pada tahun 1807 dengan membuat jalan Anyer-Panarukan"
(hal. 194). Perlu diketahui bahwa tahun 1806-1807 Daendels masih berada di Eropa.
Menurut dokumen dan sumber akurat lainnya, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tanggal 18 Januari 1807. Ia baru tiba di Anyer (Jawa Barat) pada
1 Januari 1808. Tanggal 14 Januari 1808 terjadi timbang terima kekuasaan dari
Gubernur Jenderal Kompeni A.J. Wiese kepada Gubernur Jenderal H.W. Daendels
(Kleyn, 1889 dan Kern, 1898). Pembangunan jalan Anyer-Panarukan (Grote Postweg) dimulai pertengahan tahun
1808 (Reitsma, 1912; de Haan, IV, 1912, dan Campbell, II, 1915).
Contoh ketidakakuratan fakta dan salah interpretasi antara lain terlihat
dalam daftar nama Residen Cirebon
(hal. 407). Pada zaman Kompeni/VOC di Indonesia (Nusantara), belum ada jabatan
residen. Pejabat pemerintah kolonial setingkat residen baru ada zaman
pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811), tetapi sebutannya prefect kemudian berubah menjadi landdrost. Dari segi penamaan atau
istilah, sebutan residen (resident) yang
mengacu pada jabatan, baru ada mulai pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal T.S.
Raffles (1811-1816). Kekeliruan seperti itu perlu dibetulkan.
Dalam buku tersebut, informasi mengenai hal-hal tertentu menyangkut fakta
sejarah, mungkin benar. Namun sayang, penunjukkan sumber dalam uraian (sistem footnote) tidak konsisten. Dari isi
uraian berjumlah 390 halaman (hal. 7 - 396), hanya 69 halaman yang memuat
penunjukkan sumber. Sejumlah sumber yang terdaftar dalam kepustakaan,
penggunaannya tidak jelas.
Disayangkan pula, sistematika uraian, kacau. Hal itu terlihat dari
hubungan antar bab dan hubungan antar subbab hampir pada setiap bab. Pembagian
bab tidak sepenuhnya berdasarkan periodisasi, juga tidak sepenuhnya berdasarkan
tematis, melainkan gabungan keduanya. Berarti dasar pembagian bab, kacau.
Adanya Bab XII tentang upacara tradisional dan Bab XIII tentang volklore
(cerita rakyat), menambah kacaunya sistematika dan kronologi uraian secara
keseluruhan. Kronologi adalah salah satu ciri karya sejarah.
Oleh karena itu, informasi penting bersifat positif dalam buku tersebut, menjadi
rusak oleh banyaknya kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan itu, kelemahan utama
menyangkut ketidakakuratan fakta. Sejarah harus ditulis berdasarkan fakta,
tetapi tidak segala fakta adalah fakta sejarah. Dalam penulisan sejarah, fakta
yang digunakan adalah hasil seleksi dan interpretasi sejarawan.
Tanggapan
Khusus
Tanggapan/bahasan mengenai uraian
Bab V: "Kedatangan Wiralodra di Indramayu", adalah sebagai berikut.
a. Uraian dan Keakuratan Fakta
Uraian Bab V banyak mengandung
kelemahan, karena tidak ditunjang oleh fakta sejarah yang akurat. Hal itu
terjadi karena sumber acuan utamanya adalah babad. Seperti telah disebutkan, terkesan
penggunaan sumber itu tidak terlebih dahulu dikaji dari segi filologi. Cerita
dalam babad dikemukakan sebagaimana adanya atau disadur. Hal itu antara lain
ditunjukkan oleh adanya "kata sohibul
hikayat", "konon",
dan "syahdan" di awal
cerita. Ketiga istilah itu menunjukkan cerita yang dikemukakan adalah dongeng,
karena tidak berdasar pada sumber yang jelas. Bahwa cerita dalam babad itu
dongeng, juga ditunjukkan oleh banyak hal yang tidak rasional. Contoh, orang
muncul dan lenyap secara tiba-tiba (hal. 59 dan 63), orang menjelma menjadi
kijang, ular, burung garuda, danau, bukit, dan petir (hal. 64 dan 81).
Informasi tetang Wiralodra dan Nyi
Endang Darma, hanya didasarkan pada babad, yaitu Babad Dermayu, tidak ditunjang oleh sumber sejarah yang akurat.
Bagian cerita dalam babad itu antara lain menyebutkan, bahwa "Wiralodra
dan kakeknya, Pangeran Guru adalah keturunan dari Majapahit" (hal. 66 dan
76). Terhadap informasi itu samasekali tidak ada tanggapan atau komentar, baik
dalam uraian subbab yang bersangkutan maupun dalam Subbab 5.2: Analisa dan kesimpulan.
Dalam subbab itu, mengenai Wiralodra
hanya dianalisa dengan menghubungkan cerita dalam Babad Dermayu dengan cerita dalam Babad Cirebon. Kesimpulannya, "Wiralodra identik dengan
Indrawijaya" penguasa Indramayu (hal. 89). Disimpulkan pula, bahwa
"kehadiran Wiralodra di Indramayu sebagai 'agen' Demak" (hal. 91).
Namun tidak dijelaskan, apa atau bagaimana hubungan Wiralodra dengan penguasa
Demak. Kedua kesimpulan itu tidak dilandasi oleh fakta sejarah.
Analisa mengenai Nyi Endang Darma,
juga hanya didasarkan pada informasi dalam Babad
Dermayu, dikaitkan dengan informasi dalam Babad Cirebon. Berdasarkan kedua sumber tersebut, disimpulkan bahwa
Nyi Endang Darma adalah istri Wiralodra yang identik dengan Nyi Mas Gandasari
(hal. 93). Padahal dalam uraian subbab sebelumnya (Subbab 5.1) disebutkan,
bahwa setelah Nyi Endang Darma merasa kewalahan dalam adu kesaktian dengan
Wiralodra, Nyi Endang Darma terjun ke sungai Cimanuk dan hilang entah ke mana
(hal. 81). Mengacu pada cerita itu, pertanyaannya adalah: Kapan Wiralodra
menikah dengan Nyi Endang Darma? Apakah Nyi Endang Darma menjelma menjadi Nyi
Mas Gandasari?!
Oleh karena cerita tentang Wiralodra
dan Nyi Endang Darma dalam babad tidak ditunjang oleh sumber sejarah yang
akurat, maka keberadaan kedua tokoh tersebut sangat diragukan. Dengan kata
lain, selama belum ditemukan sumber sejarah yang menyebut kedua tokoh dimaksud,
maka Wiralodra dan Nyi Endang Darma bukan tokoh sejarah, melainkan tokoh mitos.
Analisa mengenai peresmian pemukiman yang didirikan oleh Wiralodra, yaitu
Dermayu, kemudian menjadi Indramayu, juga mengandung kelemahan. Pertama, tidak
dijelaskan dari mana (dari sumber apa) diperoleh tanggal 1 Sura 1440 Saka?
Kedua, tidak dijelaskan, apa dasar penafsiran yang digunakan, sehingga tanggal
itu dianggap identik dengan tanggal 1 Muharam 934 H dan tanggal 7 Oktober 1527?
Tulisan sejarah dituntut untuk memberikan eksplanasi (kejelasan). Penulisan
sejarah bukan hanya menceritakan kejadian, tetapi bertujuan menerangkan
kejadian.
Contoh lain – meskipun bukan bagian inti uraian – adalah pernyataan,
bahwa Prabu Siliwangi identik dengan Sri Baduga Maharaja (hal. 96), raja Sunda.
Sampai sekarang belum ditemukan sumber
akurat mengenai sejarah Sunda yang menyatakan adanya raja Sunda bernama Prabu
Siliwangi. Nama itu hanya disebut dalam sumber berupa naskah.
Itulah
beberapa contoh kelemahan dalam uraian Bab V yang menyangkut ketidakakuratan
fakta.
b. Sistematika dan Sifat Uaraian
Terlepas dari benar-tidaknya keberadaan tokoh-tokoh yang diceritakan, sistematika
uaraian Bab V, kacau. Secara garis
besar, hal itu terlihat dari kerangka tulisan (dikutip sesuai aslinya).
BAB V: KEDATANGAN WIRALODRA DI INDRAMAYU
1. Sejarah tradisional tentang kedatangan
Wiralodra di Indramayu
2. Analisa dan kesimpulan
3. Penyerbuan tentara Demak ke Banten dan
Sunda Kalapa
4. Situasi politik di Indramayu
5.
Lahirnya nama Indramayu
6.
Wiralodra dan Arya Kemuding
Kerangka tulisan itu menunjukkan kelemahan
atau kekacauan hubungan judul bab dengan sub-sub bab dan hubungan antar subbab.
Pokok-pokok masalah dalam subbab tidak menerminkan judul bab. Hubungan masalah
antar subbab, kacau dan tidak kronologis serta mengabaikan aspek
kausalitas (sebab-akibat). Oleh karena itu, sifat uraian Bab V secara
keseluruhan, tidak diakronis (memanjang dalam urutan waktu), tetapi cenderung
sinkronis (melebar dalam ruang). Rupanya hal itu terjadi – maaf – karena lupa,
bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan yang menyangkut kausalitas.
c. Konsistensi dan Masalah Sumber
Sama
halnya dengan uraian bab-bab lain, dalam uraian Bab V juga terdapat kelemahan mengenai
teknis penyajian tulisan. Kelemahan itu antara lain menyangkut konsistensi dan
penggunaan sumber. Ketidakkonsistenan yang paling terlihat adalah dalam
penunjukkan sumber acuan pada uraian. Dari 53 halaman uraian Bab V (hal.
57-110), hanya 10 halaman yang memuat penunjukkan sumber (sistem footnote). Penulisan sejarah menuntut
ketelitian penggunaan dan penunjukkan sumber acuan.
Dalam hal sumber, juga mengandung
kelemahan. Sejumlah sumber yang terdaftar dalam kepustakaan, tidak jelas
penggunaannya. Sebaliknya, sumber yang jelas-jelas dijadikan acuan dalam uraian
– contoh, Asikin Wijayakusumah, Riwayat
Kemerdekaan Bangsa Sunda saruntagna Karajaan Pajajaran dina taun 1580.
Kalawarta Kujang. Bandung,
1961*)
(footnote 45 hal. 101) – tidak
terdaftar dalam kepustakaan. Disadari atau tidak, hal itu terjadi akibat tidak
konsisten dalam penunjukkan sumber, sehingga tidak terkontrol, sumber-sumber
mana yang sudah digunakan.
Di kalangan sejarawan, buku Sanusi Pane: Sedjarah Indonesia I-II (1965) sudah tidak lazim digunakan lagi,
karena banyak kelemahan dan informasinya sudah ketinggalan zaman (out of date). Penggunaan buku Sejarah Nasional Indonesia (1975) harus
ekstra hati-hati, karena di dalamnya banyak kekeliruan, termasuk kekeliruan
menyangkut fakta. Oleh karena itu, sekarang buku tersebut sedang ditulis ulang.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka
bila dalam seminar ini, isi buku Sejarah Indramayu banyak dikritisi, tim
penulis tidak perlu kecil hati dan merasa dideskreditkan. Kritik konstruktif
merupakan "warna" atau nuansa dalam forum ilmiah, seperti seminar dan
forum ilmah lainnya.
PENUTUP
Berdasarkan tanggapan tersebut,
dapat dikatakan bahwa dari segi metodologi (metode sejarah), uraian Bab V lebih
cenderung bersifat tulisan populer. Kelemahan utamanya adalah ketidakakuratan
fakta, ditambah oleh kacaunya sistematika uraian menyangkut kronologi dan
hubungan permasalahan.
Dua masalah penting yang patut
dikaji ulang adalah masalah Wiralodra dan Nyi Endang Darma serta perolehan
tanggal 1 Sura 1449 Saka yang ditafsir kan identik dengan tanggal 1 Muharam 943
H atau 7 Oktober 1527. Selama belum ditemukan sumber akurat (sumber sejarah)
yang memuat fakta adanya kedua tokoh tersebut, maka kita harus berani dan rela
mengatakan, bahwa Wiralodra dan Nyi Endang Darma adalah tokoh mitos.
Demikian pula, tanggal 7 Oktober 1527 tafsiran dari tanggal 1 Sura 1449 Saka, meskipun
telah ditetapkan sebagai Hari Jadi Indramayu, namun bila ternyata sumbernya
lemah dan penafsirannya salah, kesalahan itu wajib diperbaiki, seperti
ditegaskan dalam salah satu kesimpulan Rapat Gabungan Komisi II dan Komisi III
DPRD Kabupaten Indramayu tanggal 25-28 Mei 1977. Berarti koreksi atas tanggal Hari
Jadi Indramayu atau penulisan ulang Sejarah Indramayu bukan hal yang tabu.
Mudah-mudahan sumbangsih pemikiran
dalam bentuk tanggapan tersebut di atas, bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Bandung, 26 Agustus 2007
SUMBER ACUAN
(Landasan Tanggapan)
Bachtiar, Harsya W. 1991.
"Fakta
dalam Penulisan Sejarah Indonesia",
Sub Tema Historiografi (Kumpulan
Makalah Seminar Sejarah Nasional IV). Jakarta:
Depdikbud. Disjarahnitra. Proyek IDSN.
Car, E.H. 1990.
What is History? London: Penguin Books.
Hardjasaputra,
A. Sobana. 2005.
Bimbingan Penelitian dan Penulisan Sejarah.
Jatinangor: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Kartodirdjo,
Sartono. 1982.
Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi Indonesia; Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
---------. 1993.
Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kent, Sherman.
1967.
Writing History. 2nd ed. New
York: Appleton-Century-Crofts.
Kuntowijoyo.
2001.
Pengantar Ilmu Sejarah. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Purwanto,
Bambang dan Asvi Warman Adam.2005.
Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta:
Ombak.
Renier, G.J.
1997.
Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah.
Terjemahan Muin Umar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Surjomihardjo,
Abdurrachman. 1979.
Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi.
Jakarta:
Yayasan Idayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar