MAKNA GALUH DAN CIAMIS
Pengembalian Nama Galuh dari Perpektif Sosial Budaya+
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A.
Sobana Hardjasaputra*)
w Galuh
Kata ”galuh” memiliki beberapa arti dan makna. Kata ”galuh” dipahami secara umum berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti permata. Dalam kehidupan kerajaan di Indonesia, khususnya di Jawa,
sebutan “Galuh” biasa ditujukan pada pada
putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
Dalam budaya masyarakat Galuh
(Sunda), makna kata ”galuh” identik dengan
”galeuh”, bagian tengah (inti) pohon/kayu
berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh
yang berarti beli. Kata ”galuh” juga
dipahami identik dengan “galih”
(qolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galih” (“Galuh intinya hati” atau “inti hati adalah
galuh”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa kata ”galuh” memiliki makna filosofis yang dalam.
W.J. van der Meulen S.J. dalam
bukunya berjudul Indonesia di Ambang
Sejarah (1988), menyatakan kata ”galuh”
berasal dari kata “saka lo” (bahasa
Tagalog) yang berarti “dari sungai asalnya” = air. Kata itu berubah menjadi “segaluh/sagaluh”.
w Ciamis
Secara etimologis (bahasa Sunda), “ciamis” berasal dari kata “ci” yang berarti air dan “amis” yang berarti manis. Dalam konteks
kesejarahan Galuh, sebutan “Ciamis” bukan baru muncul pada peristiwa perubahan
nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis (diudangkan dalam Staatsblad tahun 1915). Sebutan “Ciamis”
yang ditujukan pada tempat/daerah sudah muncul jauh sebelumnya.
Menurut sumber-sumber tradisi,
sebutan “amis” dalam kata “ciamis” yang
ditujukan pada tempat/daerah (Galuh), bukan “amis” dalam arti “manis”, melainkan “amis” dalam bahasa Jawa yang berarti “anyir”. Hal itu berkaitan dengan peristiwa penyerangan pasukan
Mataram ke pussat Kerajaan Galuh (akhir abad ke-16). Peristiwa itu
mengakibatkan “banjir darah” di daerah Galuh. “Banjir darah” yang terhebat
terjadi di Ciancang (1739), sehingga peristiwa itu disebut “Bedah Ciancang”.
Kata “amis” yang berarti “anyir” dilontarkan oleh pejabat Mataram
yang mengontrol ke daerah pusat Kerajaan Galuh dan ditujukan pada bau darah
manusia. Berarti sebutan “ciamis” yang dilontarkan oleh pihak Mataram adalah cemoohan
atau hinaan.
Informasi itu beralasan untuk dipercaya,
karena bila kata ”ciamis” dimunculkan
oleh orang Galuh (orang Sunda), tentu ”amis”
yang dimaksud adalah rasa manis atau amis
yang bermakna baik. Misal, ungkapan ”amis
budi”, ”adu manis” dan lain-lain.
Tidak masuk akal bila orang Galuh (orang Sunda) memberi nama daerahnya dengan
nama yang memiliki arti jelek. Sampai saat, saya belum menemukan sumber akurat
yang memuat penjelasan lain mengenai asal-usul dan pengertian kata “ciamis”
pada awal kemunculannya.
Penjelasan tersebut menunjukkan,
bahwa asal-usul nama Ciamis mengandung makna yang jelek dan
penghinaan terhadap orang Galuh.
Penggunaan Nama Galuh dan Ciamis
Beberapa sumber tertulis
menunjukkan, bahwa nama “Galuh” telah digunakan jauh sebelum berdirinya
Kerajaan Galuh (awal abad ke-7) yang berpusat di Bojong Galuh (sekarag
Karangkamulyan). Mungkin nama atau sebutan “galuh”
mulai dikenal oleh sejumlah warga masyarakat melalui cerita bersifat mitos,
karena cerita itu menyebar di kalangan masyarakat. Tokoh sentral dalam cerita
itu adalah Ratu Galuh, penguasa di daerah yang kemudian bernama Galuh. Ia
adalah seorang ratu yang memiliki kesaktian. Diduga cerita itu muncul jauh
sebelum berdirinya Kerajaan Galuh. Boleh jadi sang ratu dalam cerita tersebut
menggunakan kata “galuh” menjadi bagian
nama dirinya atau julukan pada dirinya (Ratu Galuh), karena parasnya yang
cantik dan bersih, sehingga seolah-olah bersinar seperti permata.
Nama ”Galuh”
kemudian digunakan menjadi nama beberapa tempat, kerajaan, dan lain-lain
w Galuh Sebagai Nama Tempat dan Kerajaan
Pada
peta Pulau Jawa, khususnya peta kuno, tercatat tempat-tempat yang menggunakan
kata “galuh”, antara lain Galuh
(Probolinggo), Galuh Timur (Bumiayu), Samigaluh (Purworejo), Sagaluh
(Purwodadi), Sirah Galuh (Cilacap), Rajagaluh, Ujung Galuh, Tatar Galuh
(wilayah Kerajaan Galuh). Nama kerajaan: Kerajaan Galuh Purba (abad ke-5
Masehi) di sekitar Gunung Slamet, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galuh-Kawali.
w Galuh Dalam Sumber Tradisi
Sejalan
dengan keberadaan kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, kata/sebutan ”Galuh” juga dikenal oleh masyarakat
melalui sumber-sumber tradisi (sumber tertulis) berupa babad/naskah, antara
lain Babad Bojong Galuh, Babad Galuh-Imbanagara, Carita Ciung Wanara, Carita Lutung Kasarung, Carita Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Wawacan Sajarah Galuh, dan lain-lain.
w Galuh dan Ciamis Dalam Panggung
Sejarah
Nama
”Galuh”
muncul dalam panggung sejarah terutama berkaitan dengan Kerajaan Galuh dan
Kabupaten Galuh. Kerajaan Galuh berlangsung selama lebih-kurang 10 abad (awal
abad ke-7 hingga awal abad ke-17). Fakta sejarah menunjukkan Kabupaten Galuh (kabupaten
bernama Galuh) di Tatar Sunda berlangsung selama lebih-kurang tiga abad (awal
abad ke-17 hingga awal abad ke-20).
Eksistensi
kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat
yang melahirkan budaya Galuh. Dalam budaya Galuh terkandung hal-hal yang berupa
kearifan lokal, sekaligus bersifat falsafah yang disebut ”Falsafah Kagaluhan”. Falsafah
ini merupakan suatu ilmu yang diciptakan oleh Prabu Haurkuning – keturunan raja
Galuh --, sehingga ilmu itu disebut ”Elmu
Kagaluhan Haurkuning”. Inti ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam
kehidupan manusia:
”Hirup
kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih
baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé
jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.
(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh
kasih-mengasihi. Namun tidak cukup demikian, tetapi harus disertai pula oleh
budi pekerti yang baik. Harus
dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Orang berbudi baik,
namanya akan ”harum”).
Kearifan
lokal yang bersifat falsafah dan merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan antara
lain terkandung dalam kalimat penutup pada Prasasti Kawali I:
(”Membiasakan
melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya
di
dunia”).
Setelah
Writekandayun mendirikan Kerajaan Galuh dan melepaskan diri dari kekuaaan
Kerajaan Tarumanagara yang telah berubah menjadi Kerajaan Sunda, ia mengadakan
perundingan dengan Raja Sunda Maharaja Tarusbawa mengenai batas wilayah kedua
kerajaan. Kedua belah pihak sepakat, batas wilayah kedua kerajaan adalah sungai
Citarum. Perundingan itu disebut ”Perjanjian Galuh”.
Hal-hal
tersebut adalah contoh penggunaan nama/kata ”galuh” dalam panggung sejarah. Contoh-contoh dimaksud mengandung
arti nama Galuh memiliki nilai historis yang tinggi[2].
Fakta
sejarah menujukkan, nama ”Ciamis” pertama kali digunakan
secara formal sebagai nama ibukota baru Kabupaten Galuh, menggantikan kedudukan
Cibatu. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Sutawijaya
(1812-1815) yang berasal dari Cirebon. Mengapa ibukota baru ittu diberi nama
Ciamis, belum diketahui secara pasti. Boleh jadi nama itu diberikan oleh
Pangeran Sutawijaya, sehingga ”amis”
yang dimasud adalah ”amis” yang
berarti ”anyir”, karena dalam bahasa
Jawa Cirebon pun kata ”amis” memang
berarti ”anyir”.
Perpindahan
ibukota Kabupaten Galuh dari Cibatu ke Ciamis terjadi pada masa pemerintahan
Bupati Wiradikusumah (1815-1819). Masih pada awal abad ke-19, Kabupaten Galuh
masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon yang berlangsung sampai tahun 1915. Dalam
kurun waktu itu, nama Ciamis digunakan menjadi nama distrik dalam lingkungan
Kabupaten Galuh. Setelah Kabupaten Galuh dikembalikan ke dalam wilayah
Keresidenan Priangan, Bupati Galuh R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) mengubah
nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis. Namun alasan perubahan nama itu tidak
jelas.[3] Nama Kabupaten Ciamis – seperti telah
disebutkan – dikukuhkan/diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.[4] Berarti penggunaan nama Ciamis sampai
sekarang (2012) berlangsung selama lebih-kurang dua abad (awal abad ke-19
hingga awal abad ke-21).
Hal-hal
tersebut menunjukkan bahwa nama Ciamis pun memang memiliki nilai historis.
Namun nilai itu menjadi rendah karena dikotori oleh arti kata ”amis” menurut asal-usulnya, dan
nama Ciamis tidak mengandung makna filosofis.
w Galuh dan Ciamis Dalam Kehidupan Sosial
Budaya
Meskipun
sampai sekarang Ciamis digunakan secara formal sebagai nama
kabupaten/pemerintahan, namun dalam kehidupan sosial budaya warga masyarakat pituin (asli) Galuh, penggunaan nama
Galuh lebih menonjol dibandingkan dengan penggunaan nama Ciamis. Nama Galuh
melekat kuat seolah-olah terpatri dalam diri urang Galuh. Boleh jadi, hal itu
disebabkan urang Galuh memahami makna filosofis dan daya magis dalam nama itu,
selain nilai historis yang menunjukkan kebesaran nama Galuh. Bagi orang Galuh
yang memahami budaya Galuh, nama Galuh menjadi bagian dari jati diri atau identitas diri, sekaligus menjadi kebanggaan.
Bahwa
nama Galuh demikian terpatri dalam hati dan pikiran orang Galuh, ditunjukan
oleh pemakaian kata Galuh menjadi nama lembaga, organisasi/ perkumpulan, nama
perusahaan, acara seni buddaya, dan lain-lain.
Contoh antara lain:
Paguyuban
Rundayan Galuh Pakuan, perkumpulan tokoh-tokoh yang masih merupakan keturunan
Bupati Galuh tempo dulu.
Universitas
Galuh.
Galuh
Taruna, organisasi mahasiswa asal Galuh.
KPM
(Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Galuh Rahayu, perkumpulan pelajar dan
mahasiswa asal Galuh di Yogyakarta. Mereka tinggal di Asrama Mahasiswa Galuh.
KBM
(Keluarga Besar Mahasiswa) Galuh Jaya, perkumpulan mahasiswa asal Galuh di
Jakarta.
Galuh
Sangga Buana, organisasi pramuka.
Yayasan Galum Imbanagara.
Bale
Sawala Galuh Raya.
Stadion
Galuh (stadion olah raga).
Orang-orang
Galuh di perantauan membentuk organisasi dengan nama ”Wargi Galuh” di Bandung,
Paguyuban Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Pamitran di Purwokerto, dengan pusat di
Bandung, sehingga organisasi di Bandung disebut ”Wargi Galuh Puseur”.
Di
beberapa tempat, Galuh dijadikan nama kegiatan usaha skala besar dan kescil,
seperti PT Pratama Galuh Perkasa, Toko Galuh, Bengkel Motor Galuh, dan
lain-lain.
Museum
Galuh Pakuan, diresmikan tanggal 18 Juli 2010.
Lembaga
Adat Keraton Galuh Pakuan di Subang, dideklarasikan bulam Maret 2012.
Hurug
”G” dari kata Galuh.
Huruf ”G” biasa digunakan menjadi unsur nama
oleh orang-orang keturunan ménak
(bangsawan) Galuh.
Helaran
Budaya Galuh.
Pertunjukan
berbagai jenis kesenian tradisional Galuh. Acara itu pernah digelar di halaman pendopo Kabupaten Ciamis
tanggal 18 Agustus 2009, dalam rangka memperingati
HUT RI ke-64.
Pemda
Ciamis sendiri nenamakan wilayahnya dengan sebutan Tatar Galuh. Sebutan ini
antara lain ditulis pada spanduk yang dipasang pada jembatan besi di daerah
perbatasaan dengan Tasikmalaya. Tulisan itu berbunyi ”Selamat Datang di Tatar Galuh”.
Contoh tersebut
menunjukkan ”semangat kagaluhan”,
dalam arti orang Galuh pada umumnya lebih senang menggunakan nama Galuh
daripada nama Ciamis.
Pengembalian Nama Galuh dan Alasannya
Gagasan
pengambalian nama Galuh sebagai nama kabupaten dan wilayahnya, telah muncul
beberapa tahun yang lalu. Wacana itu digulirkan lagi pada momentum peresmian
Museum Galuh Pakuan (Juli 2010) dan beberapa waktu kemudian. Gagasan/wacana itu
menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Hal itu diekspos dalam berbagai
media masa dan media elektonik (internet), sehingga diketahui secara umum. Ternyata,
pihak yang pro jumlahnya lebih banyak, termasuk Wakil Gubernur Jawa Barat Dede
M. Yusuf. Hal itu diberitakan antara lain dalam koran Pikiran Rakyat edisi 20 Juli 2010 dengan judul ”Dukungan Perubahan
nama Semakin Luas”. Dengan demikian, wacana tersebut dapat dikatakan merupakan
aspirasi masyarakat.
Pihak
yang pro terhadap gagasan tersebut tentu memiliki alasan, demikian pula pihak
yang kontra. Bila ditelaah secara seksama, alasan pihak yang pro secara garis
besar menyangkut beberapa hal.
1) ”Semangat kagaluhan” dilandasi oleh
pemahaman akan arti, makna, dan nilai yang terkandung dalam nama Galuh, seperti
telah disebutkan.
2) Perubahan nama daerah memiliki payung
hukum, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2, Tentang
Pemerintah Daerah. Pasal itu antara menyatakan: ”..... perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan
daerah yang bersangkutan”.
Berdasarkan undang-undang itulah, nama
Ujung Pandang kembali menjadi Makasar dan Irian kembali menjadi
Papua.
3) Harapan warga masyarakat, khususnya tokoh-tokoh
yang pro terhadap gaga- san
tersebut, bahwa secara psikologis pengembalian nama Galuh diharapkan dapat mewujudkan ”semangat kagaluhan” dalam kegiatan
bidang ekonomi, sosial
budaya, dan juga dalam bidang pemerintahan.
Alasan
utama pihak yang kontra, menyangkut finansial. Katanya pengembalian nama Ciamis
ke Galuh akan mengakibatkan pemborosan biaya besar, karena harus mengganti
atribut dan label-label sarana administrasi pemerintahan. Perlu dikemukakan,
bahwa di antara anggota DPRD Kabupaten Ciamis, ada yang pro dan menyangkal
pelaksanaan pengembalian nama Galuh akan memelukan biaya besar. Oleh karena
itu, pemeritah harus merespon wacana tersebut dan ”jangan takut menjadi
Kabupaten Galuh” (PRLM, 19 Juli2010
dan Kabar Ciamis, 23 November 2011).
Mengapa
Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak/belum tanggap terhadap hal-hal tersebut?
PENUTUP
Bila
nilai dan makna Galuh dipahami secara seksama dan dibandingkan dengan asal-usul
nama Ciamis, gagasan/tuntutan dan harapan dikembalikannya nama Ciamis menjadi
Galuh, bukan primordialisme dan bukan pula subyektif kesukuan. Secara umum,
pengembalian nama itu diharapkan dapat membangkitkan ”semangat kagaluhan”, semangat untuk mempererat persatuan dan
kesatuan warga Galuh, sehingga segala potensi Galuh menunjang pengembangan
Tatar Galuh dan masyarakatnya. Hal itu kiranya sejalan dengan kebanggaan warga
masyarakat umumnya akan pamor nama Galuh.
Oleh
karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah, seyogyanya DPRD Kabupaten Ciamis menyambut baik (menyetujui) aspirasi
mayoritas warga untuk mengembalikan nama Ciamis ke Galuh. Digunakannya kembali
nama Galuh, diharapkan budaya Galuh pun akan ”bersinar” kembali. Semoga!
SUMBER ACUAN
(Seketif)
Anonim. 2010.
”Dukungan Perubahan Nama
Semakin Luas”. Pikiran Rakyat, 20
Juli 2010.
--------. 2010.
”Wacana Kab. Ciamis Jadi Kab. Galuh; Dukungan
Perubahan Semakin Luas”. PRLM,
20 Juli 2010. http://islam-kucinta.blogspot.com.
Posted by Admin.
--------. 2011.
Dase, Achmad. 2000.
”Ciamis
Rawuh Ka Galuh”. Mangle, No, 1765, 15
Juni 2000.
Hardjasaputra,
A. Sobana. 2003.
Sejarah Galuh Abad ke-7 s.d. Pertengahan Abad
ke-20. Bandung: Fakultas
Sastra Unpad.
--------. 2003
”Ciamis Pulangkeun Deui Ka
Galuh”. Galura, November 2003.
--------. 2004.
Semangat
Kegaluhan Dan Maknanya Dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Van der Meulen S.J., W.J. 1988.
Indonesia di Ambang Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius.
Mustafid. 2010.
”Wagub Setuju Perubahan Nama Kab. Ciamis Menjadi
Galuh”. Tribun, 19 Juli 2010.
--------. 2010.
”Semangat Kegaluhan di Perantauan; Galuh Sebagai Identitas Diri”. http://priangan-online.com, 22 Juli 2020.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A.
Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya Gidup Bupati-Bupati Galuh
1839-1914. Yogyakarta:
Ombak.
Staatsblad
van Nederlandsch Indie 1915 No. 670.
[3]
Mengenai perubahan nama Galuh menjadi Ciamis
oleh Bupati R.A.A. Sastrawinata, terkesan mengandung muatan politik. Pertama,
ia tidak mau disebut keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan bupati
Karawang, padahal Bupati Karawangan pertama, yakni Adipati Singaperbangsa I
adalah keturunan Bupati Galuh. Kedua, ia seolah-olah tidak mengetahui
asal-usul kata “amis” dalam nama Ciamis. Ketiga, Bupati R.A.A.
Sastrawinata meminta pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan/meresmikan nama
Kabupaten Ciamis untuk menunjukkan loyalitasnya kepada pemerintah Hindia
Belanda, guna memperkuat kedudukannya sebagai bupati.
Ciamis manis manjing dinamis, majulah tanah kelahiranku!
BalasHapusBangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, tos wartos na "Galuh" nanjeur,
BalasHapusPrung geura tanjerkeun kagaluhan tos waktos namah
BalasHapusSebelum nama Galuh di Ciamis sebelum nya juga ada kerajaan galuh purba di Banyumas Jateng....sya sedikit ragu kalau Galuh itu kerajaan Sunda mungkin stelah pindah menjadi Sunda Galuh Pajajaran saya percaya mungkin bahasanya sudah sunda...sedangkan bahasanya ada Sunda wiwitan sama Jawa kuno sma India.....tolong jelaskan bagi yg paham...
BalasHapusSampurasun....konon kabarnya kake saya memiliki keturunan langsung dari RA.KUSUMA SUBRATA yng dibuktikan dengan dilsilah keluarga yg otentik...kakek (aki) merantau ke Banten sampai akhir hayat beliau banyak menyimpan kisah masa lalunya di Ciamis ...ketika saya kecil sampai dewasa selalu menyimak ceritera aki tentang kampung halamannya saya merasa kata galuh lebih bermakna dan mungkin menyimpan ribuan makna indah dari kearifan lokal pemerintahan dan masyarakatnya serta tebangunnya sikap patriotisme yang jujur dan disertai kehalusan budi pekerti
BalasHapusDari kejauhan saya remaja pernah berdoa dan akan selalu berdoa suatu saat nanti nama Ciamis kembali menjadi GALUH
Aaamiiin ....