CITARUM TEMPO
DULU
Sejak dulu, setiap musim hujan, sungai
Citarum selalu banjir. Namun banjir Citarum tempo dulu cukup terkendali oleh
kondisi aliran sungai itu sendiri. Hal itu tersirat dalam sumber-sumber sejarah
Jawa Barat. Sebaliknya, banjir Citarum sekarang merusak pemukiman dan areal
pertanian di DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum, bahkan bajir sungai itu
kadang-kadang merenggut korban manusia. Hal itu disebabkan Citarum sekarang adalah
tempat yang memprihatinkan. Sekarang sungai itu airnya kotor dan tercemar oleh
limbah pabrik, sampah dan kotoran lain. Pencemaran air sungai diperparah lagi
oleh tindakan pencari ikan di sungai itu yang menggunakan portas. Dibeberapa
tempat aliran sungai menjadi dangkal dan menyempit akibat sampah yang mengendap
dan akibat erosi, antara lain di hulu sungai. Tanah di bantaran sungai longsor
akibat hutan tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai resapan air, karena hutan
rusak oleh tindakan manusia.
Bahwa kondisi Citarum memprihantinkan,
bukan hanya pernyataan Bapak Eka Santosa selaku Ketua Umum Satgas DAS Citarum,
tetapi kondisi sungai demikian itu sudah diketahui secara umum, karena banjir
Ciatrum selalu diekspos dalam media masa, baik media cetak maupun elektronik.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah
dan sedang berupaya untuk menanggulangi banjir Citarum. Hal itu antara lain
ditunjukan oleh pembentukan (pengukuhan) pengurus Forum DAS Citarum. Sasaran
forum adalah mewujudkan ”Citarum Bersih 2018”. Aturan operasionalnya menyangkut
hak dan kewajiban semua pihak dan sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap DAS
Citarum. Oleh karena itu, pelaksanaan operasionalnya akan melibatkan pakar,
pengusaha, akademisi, masyarakat, dan LSM (PR,
7 Februari 2013).
Dalam rangka upaya mewujudkan ”Citarum
Bersih 2018”, ada baiknya bila kita mengetahui bagaimana kondisi Citarum dan memahami
pemeliharaannya tempo dulu. Dasar pemikirannya adalah, sejarah memuat
pengalaman-pengalaman penting manusia di masa lampau. Totalitas pengalaman itu
penting untuk dipetik manfaatnya guna dijadikan bekal dalam menghadapi
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar itulah adanya
ungkapan “Sejarah adalah guru kehidupan” (“Historia
Vitae Magistra”). Dalam salah satu ceramahnya, Syafrudin Prawiranegara
(almarhum), mantan pemimpin/ presiden PDRI, menyatakan “Sejarah adalah pedoman
untuk bangun masa depan”.
Citarum adalah sungai terbesar dan
terpanjang di daerah Jawa Barat (± 225 kilometer). Sungai ini berhulu di
Cisanti lereng Gunung Wayang – salah satu anak Gunung Malabar – daerah Bandung
Selatan. Alur sungai melalui cekungan Bandung ke arah utara melalui daerah
kabupaten-kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta, dan Karawang, bermuara di
Laut Jawa, tepatnya di daerah Ujung Karawang.
Sungai Citarum bukan hanya alurnya yang
panjang, tetapi juga memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan data geologi,
sebelum daerah Jawa Barat dihuni oleh manusia prasejarah, sungai yang kemudian
bernama Citarum sudah ada. Pada Zaman Holosen (± 6000 tahun sM.) aliran sungai Citarum purba di daerah
Cimeta (Padalarang) tersumbat oleh lahar dari letusan Gunung Sunda. Lama
kelamaan air sungai itu merendam daerah yang sangat luas, yaitu daerah
Padalarang hingga Cicalengka (± 30 kilometer) serta daerah antara Lembang dan
Soreang (± 50 kilometer), sehingga daerah-daerah itu menjadi “Danau Raksasa
Bandung Purba” dalam jangka waktu lama. Surutnya air danau itu secara bertahap,
juga melalui sungai Citarum.
Arti penting Citarum
Citarum tempo dulu bukan hanya
memiliki fungsi sosial, tetapi juga fungsi ekonomi. Sejak daerah Jawa Barat
menjadi tempat kehidupan manusia prasejarah dan sampai sekarang, Citarum
memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Zaman prasejarah, DAS Citarum dihuni
oleh manusia, terutama setelah mereka memiliki budaya tinggal menetap di suatu
daerah (mulai akhir zaman Megalitikum, budaya batu besar). Hal itu ditunjukan
oleh peninggalan budaya mereka berupa situs-situs prasejarah, antara lain di
daerah Cibuaya (Karawang) dan Gua Pawon di daerah Padalarang. Situs-situs itu
berlokasi di bantaran sungai Citarum. Mereka memilih tempat itu karena sungai
penting artinya bagi kehidupan dan mata pencaharian, yakni menangkap ikan. Oleh
karena itu mereka menjaga kelestarian sungai.
Pada zaman Kerajaan Tarumanagara (abad
ke-4 – abad ke-7) dan Kerajaan Sunda/Pajajaran (abad ke-7 – abad ke-16), arti
atau fungsi sungai Citarum makin bertambah penting. Sebagian rakyat kedua
kerajaan itu kegiatan utamanya (mata pencaharian) adalah bertani, menangkap
ikan, dan berburu. Tentu kegiatan itu berkaitan dengan sungai dan hutan.
Purnawarman, raja Tarumanagara yang
paling terkenal, sangat memperhatikan sungai Citarum bagi kepentingan kehidupan
kerajaan dan rakyatnya. Hal itu disebabkan pusat Tarumanagara berada di bantaran
sungai itu, sehingga dapat dikatakan, Citarum merupakan “urat nadi” Kerajaan
Tarumanaga. Atas dasar itu pula Tarumanagara dijadikan nama kerajaan.
Purnawarman memerintahkan rakyatnya dipimpin oleh para brahmana untuk membuat dua
saluran air dari sungai Citarum ke pusat kerajaan dan pemukiman rakyat, dengan
dua tujuan utama. Pertama, untuk kepentingan kehidupan lingkungan
keraton dan rakyat. Kedua, untuk prasarana transportasi dari dan ke
pusat kerajaan. Dalam sumber sejarah kedua saluran air yang merupakan anak
sungai Citarum, masing-masing disebut Kali Gomati dan Chandrabhaga. Oleh karena
Purnawarman sangat besar perhatiannya terhadap sungai tersebut, setelah
meninggal ia dipusarakan (dimakamkan) di tepi Citarum, sehingga ia dijuluki “Sang Lumahing Tarumanadi” (Yang
dipusarakan di Citarum).
Setelah Kerajaan Tarumanagara lenyap,
berdiri Kerajaan Galuh (awal abad ke7) dan Kerajaan Sunda akhir abad ke-7. Bagi
kedua kerajaan itu, Citarum juga memiliki arti penting. Selain untuk kehidupan
dan kegiatan pertanian, Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan.
Sungai Citarum sebagai batas wilayah
Kerajaan Sunda dan Galuh
Citarum
sebagai batas wilayah juga terjadi setelah berdiri Kesultanan Cirebon dan
Kesultanan Banten. Daerah sebelah timur Citarum menjadi wilayah kekuasaan
Kesultanan Cirebon dan daerah sebelah baratnya menjadi wilayah Kesultanan
Banten.
Fungsi sungai Citarum sebagai prasarana
transportasi terus berlangsung sampai zaman selanjutnya, paling tidak sampai
abad ke-19. Hal itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati Bandung
pertama Tumenggung Wiraangunangun memilih Krapyak/Citeureup (sekarang
Dayeuhkolot) sebagai ibukota kabupaten, karena tempat itu berada di daerah
tepian Citarum, dekat muara sungai Citarik.
Ketika daerah Priangan berada di bawah
kekuasaan Kompeni (1677-1799), di daerah itu Kompeni menyelenggarakan sistim
penanaman wajib tanaman tertentu yang hasilnya sangat diperlukan untuk
perdagangan. Sistim itu dalam bahasa Belanda disebut Preangerstel (Sistim Priangan). Tanaman utama yang diwajibkan
adalah kopi. Setelah kekuasaan Kompeni berakhir, kekuasaan di Nusantara beralih
ke pemerintah Hindia Belanda mulai awal abad ke-19.
Pemerintah Hindia Belanda yang diawali
oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) meneruskan dan
mengembangkan Preangerstelsel,
terutama penanaman kopi, karena hasil penjualan komoditi itu sangat
menguntungkan pihak kolonial. Waktu itu di daerah Priangan sudah berdiri beberapa
kabupaten, antara lain Galuh, Bandung, Cianjur dan Karawang.
Setiap kali setelah panen kopi, sungai
Citarum memiliki arti penting sebagai prasarana untuk pengakutan kopi. Waktu
itu, sebagian biji kopi dari Priangan diangkut ke Batavia melalui sungai
Citarum, tentu dengan menggunakan perahu. Kembali dari daerah Batavia,
perahu-perahu itu mengangkut garam untuk disalurkan ke gudang-gudang garam yang
ada di beberapa kota distrik (kewedanaan).
Arti penting lainnya sungai Citarum
adalah menjadi tempat penyeberangan orang berikut barang bawaannya. Di tempat
tertentu, antara lain di daerah Rajamandala, penyeberangan melewati sungai
Citarum dilakukan dengan rakit yang diikatkan pada tambang yang membentang dari
tepi sungai ke seberangnya. Sampai sekarang pun penyeberangan di sungai itu
masih berlangsung di beberapa tempat.
Meskipun mulai awal tahun 1880-an
daerah Priangan sudah dilewati oleh jalur kereta api, namun sungai Citarum
tetap berfungsi sebagai prasarana bagi pengakutan kopi dari daerah pedalaman.
Dari pelabuhan sungai, kopi diangkut dengan pedati ditarik kerbau ke halte atau
stasion kereta api yang tidak terlalu jauh dari pelabuhan sungai.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pada
zaman penjajahan Belanda pun, pemerintah kolonial memperhatikan dan memelihara
sungai Citarum.
Pemeliharaan Citarum
Sumber sejarah kerajaan di Jawa Barat secara
tersirat memuat informasi tentang pemeliharaan Citarum tempo dulu. Kerajaan
Tarumanagara, Galuh, dan Sunda berserta rakyatnya, terutama rakyat yang tinggal
di DAS Citarum memelihara kelestarian sungai itu, sejalan dengan arti pentingnya,
seperti yang telah disebutkan.
Pada zaman penjajahan Belanda,
terutama pada abad ke-19, pemeliharaan sungai tidak terpisahkan dari
pemeliharaan hutan. Dalam pemeliharaan sungai dan hutan, bupati mewarisi dua
hak istimewa raja, yaitu hak menangkap ikan di sungai dan hak berburu rusa di
hutan.
Di daerah Priangan/Jawa Barat, kedua
hak istimewa bupati itu biasa dilaksanakan di sungai Citarum dan hutan di
kawasan hulu sungai tersebut. Dalam kenyataannya, bukan bupati yang menangkap
ikan di suatu lubuk sungai atau berburu rusa di hutan, melainkan rakyat. Dalam
acara menangkap ikan, bupati hanya menonton di pasanggrahan yang sengaja
dibangun di tepi lubuk. Penangkapan ikan dilakukan oleh sejumlah rakyat,
diiringi oleh bunyi gamelan. Dalam acara berburu, bupati hanya menonton di
pasanggrahan yang dibangun di daerah perburuan. Perburuan rusa dilaksanakan
oleh sejumlah pamatang atau paninggaran (ahli berburu di hutan).
Bila ditelaah, kedua hak istimewa
bupati tersebut mengandung kearifan. Pada zaman kolonilal, pelakanaan
kedua hak istimewa itu mengandung dua tujuan utama. Pertama,
untuk memelihara kelesstarian sungai dan hutan. Dengan adanya hak istimewa
bupati itu, rakyat, diperintah atau tidak oleh bupati, secara gotong-royong memelihara
kelestarian sungai dan hutan, sehingga hutan yang biasa dijadikan tempat
berburu dalam pelaksanaan hak istimewa bupati, disebut leuweung tutupan (hutan larangan), dalam arti hutan itu tidak boleh
dimasuki oleh sembarang orang tanpa izin bupati. Oleh karena itu,
rakyat tidak berani melakukan perambahan hutan. Perlu dikemukakan, di daerah
Kecamatan Kawali (daerah Ciamis utara), kegiatan gotong-royong membersihkan
sungai yang airnya antara lain diperlukan untuk kegiatan pertanian sawah di
beberapa tempat, berlangsung sampai awal tahun 1960-an.
Tujuan kedua dari pelaksanaan kedua
hak istimewa bupati itu adalah untuk menghibur rakyat yang sedang berada di bawah
penjajahan bangsa asing. Dalam hal ini, ikatan budaya feodal antara bupati dan
rakyat memiliki dampak positif. Oleh karena itu, pemerintah kolonial tidak
mengganggu atau menghapuskan kedua hak istimewa bupati tersebut.
Telah disebutkan bahwa di daerah
Priangan, pemerintah kolonial (pemerintah Hindia Belanda) meneruskan sistim penanaman
wajib kopi warisan Kompeni. Untuk kepentingan pengangkutan kopi hasil panen,
sungai Citarum di daerah tertentu, antara lain di daerah Cianjur, dikeruk agar
sungai itu dapat dilayari oleh perahu ukuran cukup besar. Sementara
itu, tepian sungai di beberapa tempat, antara lain di Cikao (sekarang masuk
wilayah Kabupaten Purwakarta), dijadikan pelabuhan sungai.
Pada zaman kolonial, pemeliharaan
hutan di daerah Jawa Barat juga dilakukan oleh para pengusaha perkebunan kina,
teh, dan karet. Dalam waktu tertentu orang Belanda/Eropa pengusaha perkebunan,
disertai oleh beberapa orang pribumi, mengontrol areal hutan sambil berburu
harimau. Pihak pemerintah pun mengadakan pejabat yang disebut controleur – pejabat bawahan asisten
residen – dengan tugas utama memeriksa kondisi perkebunan dan hutan di sekitarnya.
Kebijakan bupati dan
pihak kolonial itu menyebabkan kondisi hutan dan sungai Citarum lestari. Aliran
sungai itu lancar dan airnya bersih, kecuali di musim hujan air sungai menjadi
keruh.
Kondisi aliran Citarum tempo dulu
(di daerah Rajamandala?)
Tampak air sungai cukup bersih
Pada
musim hujan, memang sejak dulu Citarum selalu banjir. Namun banjir Citarum
tempo dulu cukup terkendali karena air sungai mengalir tanpa banyak hambatan,
sehingga banjir sungai itu tidak banyak menimbulkan kerugian. Dampak negatif
dari banjir Citarum tempo dulu adalah munculnya wabah penyakit di kalangan
penduduk yang tinggal di DAS Citarum. Hal itu menjadi salah satu faktor yang
mendorong R.A. Wiranatakusumah II, Bupati Bandung periode 1794-1829, akhir
tahun 1810 memindahkan ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak ke kota Bandung
sekarang, sejalan dengan pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang melewati daerah Bandung bagian tengah.
Uraian tentang arti pentingnya Citarum
dan pemeliharaannya berdasarkan data sejarah, meskipun singkat, kiranya pantas
untuk dipetik maknanya, sebagai tambahan bahan pemikiran dalam membuat
kebijakan untuk mewujudkan Citarum bersih dan terpelihara. Bagaimana langkah
yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah, agar warga masyarakat benar-benar
turut menunjang upaya pemerintah, dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman akan
arti penting sungai Citarum bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Semoga!
Bandung, 7 Februari
2023
Penulis adalah Guru Besar Ilmu
Sejarah
Unpad dan Unigal (Univ. Galuh).
hayu urang jaga citarum kusadayana "sauyunan sabilulungan'' ....
BalasHapus